SEBUAH CARA UNTUK MENGAKRABI (DAN MENYIASATI) SANG WAKTU.
Ini zaman kalender gratisan, biasanya dari bonus majalah dan promo kumpeni. Ini juga zaman orang menyimpan agenda di ponsel. Nyatanya kalender dijual di toko. Begitu pula buku agenda.
Tentang kalender, saya tak tahu apakah setiap rumah masih membutuhkan sebanyak-banyaknya tanggalan seperti rumah makan cina tradisional, tempat salesman dan verkoper meninggalkan tanda mata.
Rumah orang-orang sekarang makin kecil, bidang tempel di dinding kian terbatas, karena harus berbagi dengan lemari, rak, kaligrafi, kristik terbingkai, gambar Ka’abah atau gambar Perjamuan Terakhir.
Misalkan bidang pada dinding memadai, gambar kalender belum tentu cocok dengan selera tuan rumah. Gambar artis sinetron misalnya, bisa jadi dianggap kurang keren. Tapi kalender bonus majalah pria, apalagi yang impor, tentu tidak pada tempatnya digantung di ruang tamu dan keluarga — kecuali penghuninya seorang bujangan, baik masih pemuda bugar gagah perkosa perkasa maupun sudah lapuk senantiasa terbatuk-batuk.
Tentu masalahnya bukan gambar melainkan keseluruhan desain. Toh penerbit semacam teNeus juga bikin kalender dengan ilustrasi iklan Amerika ala Norman Rockwell 50-an. Ada pula kalender yang memakai ilustrasi karya tokoh pop art seperti Andy Warhol dan Roy Lichtenstein. Di Jakarta harga kalender 12 bulan itu Rp 150.000. Dari harga yang sama ada pula kalender bergambar still photos dari Desperate Housewives. :))
Oh, lupakan kalender mahal yang bisa jadi buku. Di toko buku juga dijual kalender Rp 20.000, terbitan Galang Press, Yogyakarta. Judulnya Indonesia 2009, Sebuah Kalender Kebangsaan: Soekarno di Mata Bangsanya. Desainnya simpel dan kuat. Ada Bung Karno dan Sarinah di sana. Ini kalender bagus, bermaslahat pula, karena bisa untuk belajar sejarah.
Cerita selanjutnya tentang kalender saya persilakan Anda yang melanjutkan. Bukankah blog untuk berbagi?
Kalau tentang agenda, ehm… ya, ya, ya. Mau cetak berupa buku maupun digital pada komputer dan peranti genggam, kadang kita tak membutuhkan. Daya ingat seringkali lebih manjur, begitu pula reminding oleh manusia — termasuk di dalamnya adalah sekretaris dan orang-orang dari kartu kredit. :D
Boleh jadi Anda pakai agenda dan setia mengisinya — lebih penting lagi: juga setia dalam menaatinya. Meskipun begitu sering saya lihat orang memakai agenda hanya sebagai buku tulis dalam rapat. Agendanya boleh edisi tahun lalu bahkan sebelumnya, yang penting lembar kosong dalam jilidan tebal (kadang pakai sampul kulit) itu tak tersia-siakan.
Saya kurang tahu bagaimana eksekutif Indonesia mencatat. Maklumlah segala hal diurus oleh staf, termasuk sekretaris dan ajudan. Dulu, ketika masih punya gawean, beberapa kali saya rapat dengan petinggi asing. Mereka masih pakai notes dan kadang buku gambar (sketchbook). Menyenangkan sekali melihat orang-orang itu masih doyan corat-coret dan menggambar.
Tapi tenang, tak semua eksekutif Indonesia itu malas. Ada eksekutif muda yang buku agendanya pun dibuat sendiri, dan halaman kosongnya berisi aneka coretan. Sungguh sesuai dengan semangat DIY. Siapa dia, Anda sudah kenal. Kadang dia (yang malam ini saya sapa Mang Abang, karena dia Batak cabang Priangan) memanggil saya Mas, kadang Paman — tapi belum seperti Mrs Simbok yang menyapa saya Mas Paman atau Miss Mpok yang memanggil saya Bang Paman.
Tempelan: Sistem Kalender #1