↻ Lama baca 2 menit ↬

SEMOGA KEDUANYA BERIMPIT HIMPUNAN.

celana dan baju di dinding kayu, baru 10 menit dipakai, dilepas, malas pergi

Umumnya sih saya tertib. Di bawah pukul 12 siang menyapa “Selamat pagi…” Tapi kalau seperti hari ini saya memakai zona waktu saya sendiri: biar sudah jam segini saya anggap pagi karena saya belum mandi. Tak ada telepon masuk karena sejak Sabtu malam kemarin ponsel saya matikan, begitu juga BlackBerry. Saya juga tidak menengok arloji maupun jam dinding tetapi sayang laptop saya punya jam.

Saya kadang butuh jadwal dan sebisanya taat waktu. Itulah sebabnya waktu kuliah dulu saya punya agenda — tapi penyelesaian kuliah tak pernah tepat waktu bahkan tak kunjung usai sampai kemudian di-DO.

Salah satu penyebab, misalkan saya sedang mood dan bisa bikin draft bagus, datang ke kantor jurusan tak ada yang melayani. Pukul dua pagi kampus sepi. Dalam beberapa hal sekolah kalah daripada rumah judi, rumah bordil, dan rumah madat yang bisa 24 jam.

Saya manusia tidak tertib yang takut akan Mentari? Tidak. Misalkan saya datang ke kampus pukul enam, dosennya pasti tidak ada. Masalah ada pada dia kan?

Oh, waktu! Alangkah terbatasnya. Dan kita ternyata tak punya kuasa atas Waktu. Misalkan hidup di hutan, sebagai Tarzan (buka Tarsan apalagi Asmuni), saya pun harus menyesuaikan diri dengan irama sang Kala di rimba. Pemangsa menyesuaikan diri dengan jadwal harian calon mangsa maupun… jadwal pemangsa yang mengincar dirinya. Dan ini menjengkelkan.

Kapan itu saya mencoba tidur awal, pukul sembilan. Hasilnya pukul satu dini hari saya terbangun dan tak bisa tidur. Esok siangnya saya ngantuk berat.

Ya, saya memang ngantukan. Tapi kadang begitu ngantuk saya cuma butuh tidur sejam, lalu melek sekian jam, dan tidur lagi beberapa jam. Maka ketika menyetir, bahkan siang hari di jalan tol, kalau ngantuk saya menepi dan tidur barang seperempat jam. Di jalan tol Cawang – Priok itu ada perhentian yang beberapa kali saya pakai rehat, bahkan pada siang yang terik.

Di luar tol, sebagai contoh, saya singgah di pelataran bank yang ada ATM dan satpamnya untuk tidur di mobil barang sepuluh menit. Pulas. Bangun langsung segar. Cuma bayar parkir dan uang rokok.

Suatu kali, sekitar pukul tiga pagi, di jalan tol Jagorawi ruas Cawang-TMII saya ngantuk, lalu masuk ke car junk yard. Pulas sebentar lalu terbangun karena seolah mobil saya dikelilingi banyak orang. Saat itu saya sadar, berada di tengah pelataran yang dikelilingi mobil ringsek — mobil-mobil yang telah merenggut nyawa dalam kecelakaan jalan raya. Saya sendirian. Muncul ilusi, beberapa mobil masih berbasah darah, ada tubuh manusia semampir di jendela mobil tak berkaca.

Masalahnya adalah waktu, termasuk kapan berangkat, kapan pulang, kapan di jalan. Masalahnya lagi, jika menakar hati dan perasaan, ukurannya mestinya saya, bukan orang lain.

Lho, sederhana kan? Tidak. Menjadi masalah ketika setiap hal yang saya lakukan juga berhubungan dengan orang lain, apalagi itu tak hanya berhubungan dengan nafkah saya melainkan juga nafkah sekelompok orang.

Manajemen waktu seseorang berada dalam konteks sosial. Masalahnya adalah belum tentu itu membahagiakan apalagi menyehatkan (tidur cuma 30 menit dalam 24 jam di mana bagusnya? — tapi orang lain bilang, “Itu masalah lu, kan?”).

Yah, ada saja hal yang tak menyenangkan dalam hidup ini. Selebihnya, ya carilah kesenangan*). Agar hidup ini seimbang. :D

*) Tapi kesenangan kan butuh biaya? Waks!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *