↻ Lama baca 2 menit ↬

MUNGKIN SIRIK, MUNGKIN CUMA MAU BIKIN KITA NGIKIK…

Tak ada yang baru. Kita sudah melihatnya di Kompas Minggu lantas jadi buku. Kalau Anda tergolong orang kikir tapi kreatif, gunting saja setiap edisi lantas dikemas sebagai kliping — asal bukan untuk digandakan apalagi dijual. Atau buatlah screenshots dari edisi e-paper.

Tapi kalau Anda menghargai buku, dengan kompilasi hasil suntingan penerbit, buku karya duo kenthir ini layak buat hadiah Lebaran. Untuk oleh-oleh saat mudik, supaya orang di “daerah” paham kekonyolan Jakarta.

Sebagai bagian dari paket editorial Kompas, kumpulan kartun ini juga mencerminkan opini si (editor) koran, terutama tim edisi Minggu.

Kompas adalah koran yang nyinyir, bahkan kadang sinis, terhadap lagak laku urban. Apapun yang nanggung dan snobbish, apalagi latah, akan mereka ledek. Sedangkan yang betul-betul atas dan mriyayeni — misalnya fashion — akan diapresiasi sepenuh hati, begitu pula segala hal yang mewakili “ketulusan dan kebersahajaan rakyat”. Tapi teman saya menggerutu ketika Kompas bersemangat membahas Lehman Brothers, “Katanya amanat hati nurani rakyat — lha rakyat yang mana?”

Tak apa. Itu pilihan jurnalistik. Dalam beberapa perkara itu malah menyenangkan. Kita (para pembaca) bisa berakrobat dalam seni peran: kapan menjadi kelas menengah yang selektif, kapan menjadi borjuasi baru yang kagetan, dan kapan menjadi rakyat yang gagap (dan sering keok).

Serial Benny dan “Mais” dalam beberapa hal juga begitu. Misalnya demam kardigan yang justru mengingatkan orang sirik pada gaya nenek-nenek sakit bengek (Kompas 2 Desember 2007) — mengingatkan kita pada Lagak Jakarta belasan tahun lalu ketika “kacamata kutu buku” mulai digemari.

Ada soal parkir mobil gratis untuk private party — karena si pengundang berasumsi semua tetamu akan bermobil (4 Mei 2008). Juga demam anturium yang mengalahkan akal sehat (16 Desember 2007). Atau si duo kenthir takut tergelincir saat masuk E-X Plaza yang dindingnya miring (13 Juni 2004).

Sebagai dokumen studi sosial, semua karya Benny dan Mice itu menarik dan layak simak. Begitu pula halnya dengan blog kenthir baru, entah punya siapa, yang bertajuk Nguping Jakarta (untuk sementara ceritanya masih agak kental di sektor komunikasi pemasaran).

Pada sisi yang sangat menghibur, serial Benny dan Mice adalah bagian dari gunjing-menggunjing kita terhadap sekitar — termasuk gunjing orang lain terhadap kita.

Kalau mengikuti pergunjingan sok urban, tentang dua pria lajang yang hidup seatap, apakah Benny dan Mice itu pasangan gay?

Pertanyaan ini “kampungan” dan tak bermutu, serta jauh dari relevan. Tapi itu bisa muncul dalam masyarakat peralihan yang masih mempersoalkan orientasi seksual orang lain.* :D

Sama seperti sebagian kita pernah membatin apakah Mr Bean itu homoseksual yang hidup sendirian. Emang kalo iya napa? Masalah lu apa?

JUDUL: Jakarta Atas Bawah • PENULIS & PENGGAMBAR: Benny Rachmadi & Muh. “Mice” Misrad • PENERBIT: Nalar (Jakarta, 2008) • UKURAN: 21 cm x 14 cm • TEBAL: viii + 136 halaman • HARGA: Rp 30.000

*) Ternyata mereka bukan gay.

Bonus: bahasan lain di sini tentang mereka
+ Komedi ponsel
+ Rasan-rasan visual
+ Snobisme kenthir
+ Lucu banget!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *