Jangan Mengalah!

▒ Lama baca 2 menit

REBUTAN RUANG DAN NEGOSIASI RIMBA.

“Jangan kasih kesempatan. Satu masuk, belakangnya ngikut,” kata seseorang ketika saya jadi sopir. Petuah itu sering muncul dari orang lain. Sangat sering. Intinya: jangan sekali-kali mengalah.

Yang dimaksud jangan dikasih kesempatan itu bisa mobil lain, bisa sepeda motor. Adapun mobil, itu bisa taksi, segala jenis angkot, dan sedan bagus mahal.

Kalau menuruti panas hati, bisa-bisa street rage berlangsung saban hari. Program olah batin terbagus bagi orang Jakarta bukan di kelas yoga dan meditasi melainkan di jalan raya.

PASANG BADAN 1 | Kalau minta dengan sopan tak diberi, carilah jalan sendiri asal berani sodok dan siap lecet.

Dulu hampir setiap hari saya mengalaminya di Jalan Panjang, Kebon Jeruk (ketika belum ada busway). Ada saja penyerobot yang malas mengantre di lajur kanan menjelang putaran U. Beberapa penyerebot kalau diklakson membuka jendela. Separuh dari mereka seperti minta pemakluman. Separuhnya lagi menampakkan bahasa tubuh, “Emang napa? Masalah lu apa?”

Sekarang di Jalan Radio Dalam, Jakarta Selatan, saya sering mengalami. Setiap orang semaunya. Mereka yang mau ikut aturan dan ingin sopan akan ditegur oleh pengendara lain karena dianggap lamban dan menghalangi.

PASANG BADAN 2 | Kernet bus kota selalu menjadi bentara penyibak jalan tanpa peduli lampu merah.

Yang penting bagi setiap orang adalah lebih dulu sampai di tengah perempatan. Mau lampu merah, kuning, atau hijau, itu soal lain. Titik temu di tengah perempatan adalah peluang terakhir untuk tawar-menawar berebut ruang. Fait accompli hanyalah cara, bukan tujuan.

Apa yang sebetulnya terjadi di jalan raya Ibu Kota?

Banyak orang cenderung mau menangnya sendiri — apapun kendaraannya. Prinsipnya ogah terhalangi. Tapi kalau kita dalam posisi atau situasi menghalangi ya nyaman saja.

Saya tak menegur sopir ketika bus yang saya naiki menerobos lampu merah dan menyerobot di perempatan. Sopir yang trengginas adalah dambaan penumpang yang maunya bayar, duduk manis, sampai.

Saya hanya menegur secara basa-basi jika ojek yang saya boncengi melawan arus, memotong jalan, dan melakukan kengawuran lainnya. Bukankah alasan saya naik ojek adalah untuk menembus kemacetan?

PASANG BADAN 3 | Mulanya motor mengambil jalur milik arah berlawanan. Akhirnya motor mau mengalah setelah Mercy menunggu lama.

Jika menyangkut perilaku di jalanan jangan cuma merujuk — sambil menghina — sopir angkot. Pengemudi Range Rover juga bisa semaunya memotong antrean, tak peduli itu sopir atau majikan. Tak jarang lampu sen mobil bagus itu tidak berfungsi. Setara bajaj.

Bahwa di luar negeri itu orang kita bisa tertib, ah sudahlah itu cerita kuno. Di sini yang dari hari ke hari kian terasa kasar dan liar adalah cara berebut ruang — baik ruang di jalan raya, ruang di kaki lima, maupun ruang publik lainnya. Jika pengelola pasar atau mal kelas menengah ke bawah itu lengah, maka pemilik kios akan memasang dagangan sampai ke lorong.

PASANG BADAN 4 | Petugas parkir dan satpamwan harus selalu siap ditabrak kendaraan ketika mengaba mobil keluar dari parkiran.

Berebut ruang. Itulah yang terjadi. Ruang hanya bertambah jika mengambil punya orang — dengan maupun tanpa tawar-menawar.

Repotnya, kalau orang lain diam atau mengalah, maka si pemenang sudah menganggapnya sudah menjalani proses tawar-menawar dalam kesetaraan.

Kesetaraan? Ini pun membingungkan. Secara ekonomis sopir Metro Mini di bawah kesejahteraan pemilik Audi A6. Tapi dalam hal adu gesek, nyali sopir angkot lebih tinggi. Opini penumpang dan orang jalanan cenderung berpihak ke sopir angkot daripada ke mobil yang sudah diasuransikan — apalagi jika ditambahi sentimen rasial.

Jalan raya kita adalah ruang yang memungkinkan setiap orang menakar peluang untuk menang dengan bermodalkan naluri rimba. Pepet! Sodok! Orang lain diam dan mengalah itu salah sendiri.

Seorang sopir KWK (KR) Pondokgede pernah menceramahi penumpangnya, termasuk saya, begini:”Apa? Ngikutin aturan? Huh, pejabat aja nggak naati hukum kok kita-kita diminta patuh hukum! Padahal sama-sama nyari makan, kan?”

Sungguh sebuah studium generale yang hebat. Pasti dia guru besar program studi S3 ilmu angot perangkotan.

Catatan:

+ Foto-foto diambil dalam ruas sepanjang satu kilometer di Jalan Radio Dalam Jakarta

+ Bagaimana berlalu lintas dan memperlakukan mobil bagus di Arab Saudi, tanya Haji Fahmi. Untuk Kuwait, tanyalah Didats.

Tinggalkan Balasan