↻ Lama baca 2 menit ↬

MENEBUS GENGSI, MENYENANGKAN PENJUAL.

barcode jaga gengsi

Kawan saya membeli barang tak penting karena jengkel. Pemilik toko meremehkan, “Ini mahal, Mas. Pokoknya mahal.” Sakit hati ditebus dengan jaga gengsi. Ujung-ujungnya penjual juga yang untung. Sudah menghina, masih dibayar pula. Sampai di rumah dia menyesal karena ternyata tak terlalu membutuhkan pisau belati untuk pemburu.

Beberapa kali saya mendengar orang membeli karena pegas gengsinya tersentil. Beli sampanye padahal tak doyan minum dan tak paham dunia air kata-kata, tapi hanya gara-gara diingatkan oleh pelayan, “Itu mahal, Bos.” Sayang dia tak seberani kampiun balapan yang dari podium menyemburkan isi botol ke mana-mana.

Daya beli, karena mengandung kata “daya”, adalah kekuatan, power, kesaktian. Bagi beberapa orang itu berarti kebanggaan. Bisa juga jadi alat unjuk diri, “Sudahlah… Oom suka, Oom bawa.”

Menyentil gengsi memang bisa menjadi jurus pemasaran. Lihatlah banyak iklan. Tak sedikit yang mengarah ke sana. Tapi ah, iklan kan kurang personal. Yang personal ya yang pakai tatap muka.

“Masa harga segini aja nggak berani, Mas?” tanya SPG fragrance saat toserba sepi karena tanggal tua. Jawaban saya selalu gagah, “Maaf, nggak bisa beli Mbak.”

Pernah juga, saat saya muda, SPG pameran rumah pakai towal-towel segala, sok manja. “DP-nya murah kan? Istrinya Abang pasti setuju. Atau takut sama istri? Apa-apa harus minta pertimbangan dia ya?” Jawaban saya selalu lugu, “Iya saya takut sama istri saya.”

Jurus sama, tanpa jowal-jawil, pernah dipakai SPG skuter Piaggio. “Iya, Pak, ringan kok cicilannya. Ibu di rumah pasti nggak mempersoalkan…” Hayah, sok tahu banget dia urusan domestik saya.

Entahlah sudah berapa lelaki yang terayu karena ingin menunjukkan diri tak takut bini. Padahal takut sama bini sendiri itu apa salahnya? Masa takut sama bini tetangga? Yang bener sih takut sama suami tetangga karena si laki adalah bromocorah atau juru mutilasi.

Memanggil bapak-bapak sebagai mas, bang, kak, itu juga bagian dari mengelus ego lelaki. Bayangkan jika konsumen disapa sebagai paman, paklik, pakdhe, uwak. Kayaknya bakal mengundang respon negatif, “Sejak kapan saya kawin sama bibimu?” Kalau konsumennya Jawa, mbagusi, kemlinthi, feodal, bolehlah dipanggil “den” atau “ndoro”. :P

Soal lain yang peka bagi lelaki tentu keperkasaan. Seorang SPG menawarkan supleman, “Untuk menambah stamina, Mas.” Kata “me-nam-bah” itu ditekankan. Jadi, seolah tak ada masalah dengan stamina.

Ketika ditanya stamina yang bagaimana, dengan sok tersipu salah satu dari mereka (berdua) menjawab, “Hubungan yang harmonis dengan pasangan.” Maksudnya? “Yah, hubungan intim gitulah Mas…”

Saya bilang saya nggak perlu gituan. Bukan karena masih berstamina, tetapi karena percuma, “Nggak ngefek deh Mbak. Saya sudah tua, loyo, dan saya nrimo…” Ada belas kasihan campur geli dalam wajah mereka.

Ego. Pengakuan. Kamu pikir aku nggak mampu beli? Itulah barangkali pertahanan diri konsumen yang paling disukai penjual. Padahal kita bisa kalah dua-tiga kali. Sudah tersinggung, masih keluar duit, lantas yang terima duit tertawa-tawa.

Pernahkah Anda membeli karena tak mau jatuh gengsi? Kalau bukan Anda ya lingkungan terdekat Anda begitulah… :)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *