Jajan di Sala

▒ Lama baca 2 menit

PANDUAN MENGUDAP KARYA BLOGGER.

buku panduan jajan solo imron rosyidKenapa di Sala ada penjaja penganan yang disebut Hik? Soal etimologi bertanyalah kepada dua bloggers Sala, yakni Paman Patih Blontank dan Imron Rosyid. Orang yang pertama adalah pemandu soal Sala dalam segala urusan. Orang yang kedua juga, tapi sudah menelurkan buku perdapuran alias panduan jajan atau ngiras.

Saya tak tahu sudah ada berapa judul buku panduan jajan selama 2008 ini. Yang baru, dikirimi oleh penulisnya, ya ini: Makan Uenaaak di Solo. Yang saya sok tahu, kudapan Sala itu sedap. Makanya di banyak kota, termasuk Jakarta, ada saja penjual makanan yang mengaku wong Sala.

Dicetak secara “winarna” (full color eh… colorful) setebal 80 halaman, buku ini bicara masakan, tempat, dan tinjauan rasa. Ada 17 kedai, cukup untuk kunjungan sepekan ke Surakarta Hadiningrat. Selebihnya ajaklah penulis, dan… disertai Blontank.

Bagaimana kandungan informasinya? Untuk pembaca yang asing dengan Sala mau tak mau harus menanya tukang becak — kecuali dipandu oleh duo lidah manja tadi. Teks tentang rute menuju nasi liwet Yu Sarmi, misalnya, bisa bikin pusing. Apalagi ada perubahan pengaturan lalu lintas sejak April 2008.

Ada lagi. Kalau menanya orang, Anda akan dipandu dengan “ngetan, ngalor, ngulon, ngidul” (ke timur, ke utara, ke barat, ke selatan). Meskipun kadang berseteru, orang Sala dan Yogya itu sama: membaca panah N pada peta berbahasa Inggris atau Belanda sebagai “ngalor“. Repotnya, ketika menjelaskan arah kepada pendatang, mereka berpengandaian bahwa mitra bicaranya punya peta yang sama di benaknya.

Untunglah, hanya tukang becak di dekat Tugu, Yogya, yang bisa kasih petunjuk ringkas kepada turis bule saat menjelaskan arah Candi Prambanan.

How to get there?” tanya si turis. Pak Becak bilang, “You go yes, yess, yess, yess, yesss, yessss…” Setiap koma dalam kalimat berarti perempatan. setiap “s” panjang melambangkan panjangnya ruas jalan raya Yogya-Sala. Dia ber-yes-yes sambil menjadikan tangan kanannya sebagai peraga arah. Garis arah dimulai dari telapak di dekat dada, lalu lengan melurus hingga telapak menjauhi dada.

Kemudian sampailah pada, “You… you… yessssssssssssssssssssss….“. Panjang sekali. Nadanya meninggi. Bunyi “s” melebihi yang tertulis. Akhirnya Pak Becak ambil napas. Telapak tangan kanannya membuat sudut pacul, digerakkan ke kiri, dan berucap pelan, pendek, tapi jelas: “Yes.” Artinya, belok kiri sudah sampai Candi Prambanan.

Apakah panduan ini menjadi tuturan becakan? Tidak. Pemaparan per bagian lebih panjang dari buku Surabaya. Hanya sayang, panduan Sala tak memuat denah pada setiap lema (entri). Akan menjadi lebih memandu jika dalam penyajian teks panjang ini harga dikandangkan dalam boks. Demikian pula jam buka-tutup setiap kedai.

Selamat menyantap sate kere (namanya itu lho!) Yu Rebi seharga Rp 6.000 seporsi, disambung wedang dongo yang semangkuknya Rp 5.000. Untuk Selat Solo, akan lebih sip bila dipandu (dan dijamu) oleh Jun. Kenapa? Biarlah dia yang menjelaskan.

Selebihnya, biarlah hotel-hotel di Solo yang menyediakan buku ini untuk tetamu. Kalau tamu hanya menanya mana jajanan yang enak, maka beda karyawan dan beda shift akan beda jawaban. Terlalu banyak yang enak di Sala.

JUDUL: Makan Uenaak di Solo • PENULIS: Imron Rosyid T.R. • PENERBIT: Prima Media (Jakarta, 2008) • UKURAN: 13,5 cm x 20 cm • TEBAL: 80 halaman • HARGA: Rp 29.800

Tinggalkan Balasan