↻ Lama baca 3 menit ↬

BERHALA MODERN YANG DICINTA DAN DIBENCI.

hari tanpa tv

Adakah stasiun televisi yang hari ini menayangkan Hari tanpa TV? Saya belum tahu karena malas mengecek. Malas mengecek karena jarang nonton TV. Jarang nonton karena banyak sebab. Salah satunya adalah apa yang saya butuhkan seringkali sudah terlewat atau belum muncul, atau malah ketika saya setel stasiunnya sedang tidak siaran. Bukankah ada jadwal siaran TV? Ini jenis informasi yang saya lihat.

Apakah saya memusuhi TV? Tidak.

Apakah saya mengikuti Madonna, yang membatasi anaknya dari terpaan TV? Juga tidak.

Malah dari TV ada yang saya sukai tapi sering terkalahkan oleh pemegang remote controller. Apa? Tayangan iklan.

Gara-gara jarang menonton TV saya sering gagap mencerna iklan di media cetak dan media luar ruang (bilbor gambar diam). Sebagian iklan-iklan itu hanya bagian dari kampanye masif yang berat di TV. Lantas media cetak dan bilbor hanya nenampilkan screenshot TV, bahkan dengan headline dan text balloon yang sekakadar mengulang suara TV. Bukan salah “insan periklanan”. Ini salah saya kenapa berada di luar asumsi mereka.

Dengan segala kemiskinan rujukan akan tayangan TV, secara pongah dan naif saya berkesimpulan bahwa stasiun TV doyan saling tiru acara. Menggerogoti penonton stasiun lain pada jam yang sama adalah keharusan. Sehari tetap 24 jam dan penonton baru tak turun dari bulan.

TV adalah perabot rumah tangga modern, yang boleh lebih dahulu terbeli ketimbang kulkas. Tanpa kotak ajaib yang kadang jadi berhala itu, anak kos merasa kamarnya hampa — apalagi kalau kamarnya tak berkomputer tak berinternet.

Tanpa TV, kamar hotel termurah pun serasa melemparkan tamunya ke era tanpa informasi — kecuali dulu (entah sekarang) kamar-kamar mahal di resor Club Med.

Sebagai perabot rumah tangga, jam nyala TV masih di bawah kulkas. Dalam rumah kecil berbanyak penghuni, apalagi jika pesawat TV cuma satu, maka TV yang kadung menyala akan sulit mati. Penontonnya berganti.

Radio tak mengalami hujatan sekencang TV. Koran dan majalah apalagi — yang ini kadang malah dicuekin oleh sebagian bloggers.

TV adalah barang yang dicinta sekaligus dibenci. Dalam rumah kecil, TV akan tampak dari meja makan. Saat keluarga bersantap, hal-hal dunia luar masuk ke ranah domestik. Dari tayangan lokasi penimbunan sampah, tersangka pembunuh, rekontruksi pembantaian, sangkalan badut politik pengunyah suap, sampai rahasia perkawinan pesohor akan masuk ke ruang keluarga.

Hadiah promo berupa pesawat televisi — apalagi kalau bukan produk abal-abal — tidak pernah dianggap sebagai barang yang tak mendidik. Mungkin tak diharap penuh suka cita, tapi tak akan ditentang.

Adakah yang salah dengan TV? Penggunaan frekuensi oleh stasiun harus diatur karena gelombang radio dan udara adalah milik bersama.

Siaran TV harus dikontrol justru karena tayangan dibuat justru untuk ditonton sebanyak dan seluas mungkin khalayak. Mereka yang disasar boleh menentang (kalau diam artinya mendukung). Tapi, ah, ini pun hukum sosial semua produk media.

Bentuk kontrol beragam, dari protes, demo mengerahkan massa, sampai boikot. Tambah lagi yang rada kontemplatif: sehari tanpa TV (kalau tahan). Esok tontonlah lagi sampai setahun. Sampai tombol remote controller luntur.

Di sebuah kampung pernah ada aturan bahwa pada jam tertentu adalah jam belajar. Anak-anak tak boleh bermain di luar rumah dan kalau di dalam tak boleh menonton TV.

Ini konyol. RT/RW merasuki kehidupan domestik dan merasa lebih tahu kapan TV dinyalakan, kapan anak-anak harus belajar. Sebuah kesepakatan telah mengabaikan kenyataan bahwa setiap keluarga itu otentik dan berhak menentukan yang terbaik bagi dirinya.

Bagaimana dengan kampanye Hari tanpa TV? Pagi tadi saya menanya anak-anak saya apakah mereka tahu. Ternyata mereka tahu ajakan bermoral itu. Tapi salah satu bilang, “Itu nggak perlu.”

Saya larang mereka menonton TV? Tidak. Sampai siang ini TV masih menyala di sebuah ruang. Dan seperti biasa saya hanya mendengar suaranya.

TV biasa (bukan kabel atau berbayar) adalah media paling murah. Pemiliknya hanya membayar setrum. Harga setrum bulanan (apalagi yang hanya dari TV) tetap (jauh) lebih murah daripada melanggani empat koran, enam majalah, empat tabloid, dan membeli beberapa buku sebulan.

Ketika minat baca rendah, dan pilihan aktivitas hanya sedikit yang mengasyikkan, maka yang paling layak dipersalahkan adalah TV.

Ketika anak-anak dibesarkan oleh TV rumah yang menyala tak kenal waktu, maka yang bertanggung jawab adalah orang dewasa. Dari sejumlah orang dewasa itu, yang sering jadi kambing hitam adalah kaum ibu dan pembantu.

Mulai hari ini saya akan belajar nonton TV, mengembalikan kebutuhan yang pernah saya miliki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *