KENAPA CD LEBIH MAHAL DARIPADA KASET?
Harga sekeping CD Brain Salad Surgery (ELP, 1973 dirilis ulang 2004) ini di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, sekitar Rp 7.000. Maklum, barang kopian. Harga CD asli tentu di atas itu. Selain perbedaan kualitas audio (akibat cara penggandaan dan penanganan) adalah kesenjangan kemasan. Kotak CD asli menyertakan kertas blablabla. Kotak CD kopian cukup kertas seadanya.
Persamaannya? Masing-masing keping CD berisi coretan tangan. CD asli menyertakan reproduksi tanda tangan ketiga musisi. CD bajakan cukup coretan spidol tukangnya.
Sudahlah, itu lumrah dalam bisnis bajak-membajak. Yang dari dulu mengganjal di hati saya adalah kenapa harga CD lebih mahal daripada kaset?
Harga kaset kosong C60 sekitar Rp 7.000. Harga CD kosong sekitar Rp 1.500. Kenapa ketika kedua jenis media itu dipakai untuk menampung musik yang sama (album, artis) harga jualnya malah lebih mahal CD? Harga kaset sekitar Rp 25.000. Harga CD bisa sepuluh kali lipatnya (bahkan lebih), apalagi jika barang impor.
Mungkin ini akibat terusan dari sebuah ketelanjuran. Dulu pemutar CD lebih sedikit daripada cassette player (“tape”, kata orang tanpa memaksudkan pita). Dengan jumlah produksi yang lebih kecil, harga jual CD menjadi lebih mahal.
Setelah CD menjadi media lumrah penyimpan data, harga jualnya kian murah. Perkembangan selanjutnya, stereo jinjing yang paling murah pun sudah bisa memutar CD baik berisi audio maupun MP3 dan sejenisnya. Malah stereo jinjing keluaran anyar (compo) sudah punya colokan USB.
Kaset kian tertinggalkan. Hanya menjadi barang obselete yang mengesalkan. Masih lebih beruntung piringan hitam yang akhirnya jadi klangenan orang penganut state of the art.
CD adalah gerbang menuju file musik digital. Pada mulanya, di tangan konsumen, dari CD yang masuk ke dtrive komputerlah konversi terjadi. Internet membantu menyebarkannya. iTunes sekadar meneruskan Napster.
Pada tahun 80-an, ketika CD mulai dikonsumsi tapi PC belum bisa menelannya, tak terbayangkan orang bisa membeli musik secara ketengan.
Sebagian kalangan tua, yang merasakan era konsumsi musik melalui plat, kaset dan CD, mungkin heran. Bagaimana orang-orang “mengapresiasi” karya musikal tanpa menyimak keseluruhan album, tak membaca cerita dan kreditasi pada sampul?
Zamannya sudah berbeda. Pilihan yang banyak, disertai nafsu kemaruk auditif, menuntut seleksi yang zig-zag — dan ini menggairahkan. Informasi pendukung bisa didapat dari internet. Kalangan tua hanya bisa membayangkan Violectra Jean-Luc Ponty maupun Moog Emerson, anak-anak mereka langsung melihat di Youtube.
Kalangan tua dulu punya banyak waktu karena aktivitas memang tak sebanyak anak-anaknya. Dari sebuah pemutar kaset mono, di kamar belakang, kuping mereka berusaha keras menjelajahi keterbatasan rerproduksi suara, sambil membaca info musikal dan… berimajinasi.
Sebagai generasi kaset, mereka tetap lebih kaya daripada generasi plat. Maklum, pada masa kejayaanya, plat dan turn table tak terjangkau oleh semua orang. Plat, kayaknya, juga jarang dibajak. :D
Kini para cucu (kalau mau) bisa langsung mendigitalkan isi koleksi plat classic rock para opa. Atau sekadar memutar tanpa menimbulkan kekhawatran pemilik akan gores-menggores karena sang cucu mencoba scratching ala DJ.
Yah, pilihan dengaran lebih banyak, bahkan berlimpah, tetapi sehari tetap 24 jam. Akhirnya waktu jualah yang membatasi.
Lantas di luar urusan konsumsi, apa lagi yang lebih menarik di zaman kini? Lebih banyak orang yang menghasilkan musik sendiri dan mendistribusikannya.