JUSTRU HARUS DIMANFAATKAN, BUKAN CUMA DIPANDANG.
Akhirnya saya masuki juga taman itu pada suatu senja, ketika lampu taman sudah menyala. Hutan kota yang relatif terawat. Tak banyak plastik bertebaran. Ah, masih ada keteduhan di tengah hiruk-pikuk kota. Masih ada dedaunan untuk menangkap karbon buangan knalpot.
Taman tersembunyi, di sebuah lembah, tak jauh dari Pasar Mayestik di Jakarta Selatan. Saya sering melewatinya, melalui jalan di luar pagar, tapi baru kali itu singgah. Dan senja itu hanya ada saya seorang.
Kota-kota butuh taman. Kota-kota butuh hutan kota. Untuk berteduh dari panas. Untuk disinggahi.
Saya tak tahu berapa kali dalam masa jabatannya seorang wali kota memasuki taman-taman di wilayahnya.
Memasuki taman di wilayahnya bukan sebagai petinggi saat inspeksi remi. Tapi masuk sebagai warga kota, warga biasa, yang ingin merasakan manfaat taman.
Untuk kepentingan dinas, di luar pasal inspeksi, saya tak tahu berapa kali birokrat kota memanfaatkan taman untuk acara ini dan itu. Misalnya syukuran naik pangkat. Atau pelepasan sejawat yang pensiun. Atau malah serah terima jabatan.
Jika dan hanya jika dimanfaatkan maka sebuah ruang terbuka akan selalu diuji fungsinya secara sosial: si siapa memetik manfaat apa untuk siapa saja. Taman bukanlah sekadar hamparan lahan berpepohonan untuk dipandang.
Art in public space bisa memanfaatkan taman kota sebagai ruang pamer. Atau malah sebagai galeri seni rupa tiga dimensi, minimal dengan kontrak berjangka waktu.
Pentas musik jalanan, gelar acara dangdut, bahkan konser kuintet gesek, pun bisa digelar asalkan tak merusak tanaman, tak merusak lingkungan. Lebih penting lagi ada kompromi dengan masyarakat sekitar jika menyangkut kebisingan dan kesesakan parkir.
Hanya jika melibatkan khalayak dalam pemanfaatan secara beradab maka taman-taman kota akan disayang. Tanpa itu, ketika taman diurug dan jadi mal, orang hanya menyayangkan — cuma sesaat, itu pun lantaran ekspos oleh media. Seterusnya tinggal nostalgia dengan satu kata favorit “sayang”.