↻ Lama baca 2 menit ↬

APA SIH YANG KITA CARI DARI PEKERJAAN?

work sucks! paragliding yuk!

Stiker jip itu membuat saya tersenyum. Misalkan betul begitu kenyataannya, saya pun tak akan dengki. “Work sucks! I’m going paragliding.” Nyaman betul. Bersyukurlah.

Saya teringat para pendaki, perambah rimba, pengarung air deras, dan penyusur gua yang membuat perusahaan wisata petualangan dan pelatihan luar ruang. Hobi bisa jadi pekerjaan. Dilakukan secara profesional.

Jadi, apakah yang kita cari dari bekerja? Uang. Itulah alat tukar yang bisa membeli banyak hal, termasuk untuk membeli uang lagi. Ketika uang berbiak, pemiliknya bisa beramal lebih banyak (semoga).

Nyari duit. Syukur selaras panggilan hati. Alangkah indahnya.

Tapi misalkan yang diburu hanya uang, itu pun tak salah. Bukan pertama kali jika tempo hari saya mendengar ada orang mencari pekerjaan, “Di NGO asing mana aja, pokoknya yang gajinya gede, pake dollar.”

Ah saya pun teringat obrolan di Y!M dengan seorang sahabat, aktivis-dan-profesional lingkungan, tentang orang-orang “non-enviromentalist” yang memburu dollar dari foundations ini dan itu, dari bodies sana dan situ.

Yah, ndhèrèk mulya (numpang makmur) itu hak, kan?

Sempat saya terpancing untuk bergunjing tentang beberapa wanita di lembaga dana lingkungan mondial di Jakarta yang makmur, menjalani gaya hidup seperti yang dicerminkan majalah-majalah wanita premium. Komitmen pribadi mereka terhadap soal lingkungan, menurut gosip sirik, juga cuma ehm-ehm…

Ah, jangan percaya! Ini tak lebih daripada ketidaktahuan dan lantaran kedengkian saya.

Bisa saja mereka itu sebetulnya orang-orang rendah hati, yang tak pernah mengklaim diri sebagai aktivis lingkungan, tetapi sebagai profesional bisa merancang dan mengontrol program ini-itu. Apanya yang salah?

Apakah pekerja lingkungan harus kere? Jelas tidak. Apakah profesional perancang kegiatan sosial (termasuk penegakan HAM), di sebuah yayasan harus hidup bersahaja, tak boleh menikmati cerutu dan anggur, dilarang naik SUV mahal? Tentu tidak.

Bagaimana bisa bekerja bagus jika dibayar sekadarnya, cuma sebagai relawan — rela masuk tiga hari dalam sebulan, dan selebihnya menghilang?

Kalau itu dilakukan sesuai panggilan hati, apa salahnya mendapatkan rezeki. Betul apa benar? Bukan begitu bukan?

Maka jika sekarang ada penyelenggara acara (event organizer) spesialis program CSR (corporate cocial responsibility), bagi saya itu pun tepat. Malah bagi si korporat, nasib uang dan programnya lebih terarah, mangkus, lagi sangkil.

Begitu pula kelak dengan perseroan terbatas spesialis dana pendidikan dari donor makmur. Lebih baik berbentuk PT daripada yayasan tapi dikelola sangat bisnis — dan banyak korupsinya pula. :D

Lantas hubungannya dengan Bung Jip Paraglider? Tidak ada. Dia hanya jadi pembuka lamunan saya yang ngelantur. Maaf ya, Bung. :)

Selamat hari Senin. Bekerjalah. Bergembiralah. Tapi harga-harga kan naik ya? ;)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *