“Saya Mohon Diri, Tuan…”

▒ Lama baca 2 menit

BLOG: PERTEMUAN DUNIA MAYA DAN NYATA.

ndoro kakung lelananging jagat“Mari, Paman,” kata anak muda itu, suatu siang di sebuah tempat. Ya, anggap sudah selayaknya, saya memang tua (bangka) dan dia belia. Kemudian pamitannya berlanjut ke orang di sebelah saya, “Mari, Tuan…” Sakndilalah anak muda itu sekalian nyemplak motor. Jadilah itu diucapkan seolah sambil membungkuk.

Setelah tamu berlalu saya menahan senyum. Seteru mesra saya, yang tadi namanya disebut itu, segera melihat iblis di mata saya. “Ana apa, Dab?” tanyanya dengan muka menyebalkan, menampakkan keaslian dirinya yang terdalam dan tak terbantahkan.

Saya bilang, acara pamit dan melepas tamu tadi mengharukan. Untunglah “Mari, Tuan” tidak dijawakan menjadi “Nyuwun pamit lan pangestu, Ndoro…” Jika ya, miriplah ket(h)oprak. Atau serupa film — apalagi jika diucapkan dengan terbata, “Nyu-nyu… wun.. pa-pa… mit… Ndoro… i-i-ing-gih… Ndoro.”

Siang yang sial? Mestinya tidak. Itu siang yang indah.

Menjadi sial karena tanpa janjian saya terjebak di sebuah tempat bersama sang Arjuna pemikat Hawa itu. Apa boleh bikin, sebuah sua yang tak berarti rizki tetap harus disyukuri, bukan? Tapi kawan saya itu ternyata misuh-misuh. Lalu tertawa puas, penuh kebanggaan dan kejayaan — tapi berujung pada kejengkelan.

Nickname dalam blog ternyata terbawa ke alam nyata. Bukan nickname sehari-hari yang diangkut ke blog lantas dikenal di alam maya, melainkan nickname — atau display name, kata WordPress — yang memang dibikin untuk blogging.

Banyak contoh. Akan panjang kalau saya deretkan.

Oh ralat, ada bonus, biar lebih ilustratif. Ketika menyapa salah satu ratu blog dengan “Rin” dalam Y!M, dan bukan nickname-nya, saya merasa dekat tapi setelah itu agak sungkan juga, seolah salah langkah, menjurus ke lancang, menabrak kehidupan pribadinya.

Setahu saya jarang yang memanggilnya “Rin”. Bahkan beberapa bloggers karibnya lebih sering menyebut nickname yang jadi bagian dari URL itu. Nickname yang boleh jadi tak diketahui tetangga bahkan bapak dan ibunya.

Dunia blog adalah bagian dari hiruk-pikuk-hiruk-piruk teks. Bedanya dengan umumnya pengarang buku dan kolumnis, sebagian bloggers mengibarkan nama panggilan diri dengan sangat merdeka. Tak hanya di blognya tetapi juga di blog lain. Misalnya saat berkomentar.

Sesama bloggers tahu nama aslinya, apalagi kalau diumumkan di blog. Namun dalam kopdar, nama julukan itu yang lebih umum. Yah, serupa dengan kopdar orang milis maupun forum maya.

Artinya orang di luar komunitas bisa terheran-heran, atau terkagum-kagum, kenapa orang yang dikenalnya selama ini punya nama lain (yang ajaib) di lingkungan tertentu.

Suami Jeng Rin maklum, anaknya juga, tapi tukang sayur langganannya tidak — lagi pula apa urusannya?

Tetangga kawan saya di Yogya, tanah airnya, mungkin ada yang berkomentar, “Uh, mbagusi. Setelah jadi orang Jakarta dipanggil Tuan, padahal di sini dulu Thole, malah ada yang manggil Min dan Met.”

© Ilustrasi: Southeast Asian Studies @ Northern Illinois University

TAMBAHAN: Lebih dulu muncul, lebih lucu, lebih mangkus dan sangkil. Ini dia!

Tinggalkan Balasan