UANG DISAYANG, UANG MELAYANG.
Warung layanan cetak digital ini jujur. Meski mengesalkan dia sudah bikin disklaimer. Jadi, kalau konsumen tak suka, silakan bawa uang pas (receh). Jangan mengharapkan seribuan akan menyisakan kembalian. Belum tentu ada.
Apa yang terjadi jaringan cetak digital Ibu Kota itu hanya meneguhkan cerita lama. Rupiah semakin tak bernilai. Maka berbahagialah yang memegang euro, poundsterling, dan dollar Ostrali.
Jika menyangkut rupiah, maka Polisi Cepek pun akhirnya hanya kita piara sebagai nama. Koin Rp 100 pun semakin sulit. Kalau pun ada, masa tega sih kita memberikan hepeng cepek?
Apalagi kalau kita bicara koin Rp 50 yang nyatanya masih ada itu. Pengamen saja merengut. Kernet angkot akan mengajak berkelahi jika diberi 60 keping gocapan.
Kalau saya tak salah ingat, sampai tahun 70-an blanko pos wesel (ini pun sudah melenyap) masih menyiskan kotak sen di belakang rupiah. Padahal saat itu sen tinggal cerita.
Lantas pada awal 90-an muncul iklan (cetak) layanan masyarakat bergambar jejeran koin berbagai negeri. Untuk Indonesia, koinnya diganti permen. Headline-nya, kalau tak salah, “Inilah kelebihan uang Indonesia: bisa dimakan.” Pakde Totot mungkin punya data siapa biro iklan yang mengerjakan iklan lucu tapi sinis itu. Matari Advertising mestinya menyimpannya, karena majalah Cakram dulu memuat iklan itu.
Kita tunggu munculnya uang kertas Rp 250.000 dan Rp 500.000. Tapi kalau kedua pecahan besar itu sampai muncul, berarti usianya di dompet juga singkat. Saat itu teh botol mungkin sudah berharga Rp 50.000.