ADAKAH KUMPENI YANG PAHAM?
Kadang ketika Pidgin menyala, saya lihat beberapa orang masih terang-terangan online. Padahal hari sudah berganti, hanya saja masih jauh dari Matahari. Tampaknya tak sedikit orang (baca: bloggers) yang berkawan dengan malam.
Saya tahu ada orang yang jarang sekali minum obat flu karena jarang batuk-pilek. Padahal dia betah melek. Kuncinya ada di pola makan dan tidur yang cukup. Sayang sebagian dokter dan bos kurang paham soal ini.
Seorang dokter pernah terperanjat ketika memeriksa pasien yang dia minta kembali lagi. Temperatur si pasien menghangat, tensinya tak selayaknya orang bangun pagi.
Ternyata pasien itu baru tidur seperempat jam setelah melek sejak kemarin. “Kok ke sini?” tanya dokter. Pasien jujur itu menjawab, “Lha kan dokter meminta saya ke sini jam sembilan?”
Dalam kasus ini saya menganggap dokternya bodoh. Dia tidak menanya pola hidup pasien, sehingga dengan dogolnya berujar, “Saya pikir Anda tidur jam sepuluh malem.”
Ada lagi dokter bodoh yang kaget ketika anjuran dietnya ternyata menambah asam lambung pasien, dengan akibat si pasien muntah cairan kuning.
Sebelumnya Si dokter menganjurkan agar malam hari si pasien jangan makan supaya tidak overweight. Yang terjadi selama hampir sepakan si pasien menahan derita setiap kali melek sejak sore sampai menjelang siang.
Entah apa yang dipelajari di fakultas kedokteran dulu sehingga dokter berlainan bisa berucap seragam, “Saya pikir Anda tidur jam sepuluh malem.”
Sedangkan bos tertentu tak kurang anehnya. Bawahan kirim hasil tugas ke server (“Excellent,” pujinya) pukul tiga pagi, jauh waktu sebelum tenggat, dianggap biasa. Tapi kalau bawahan uring-uringan karena diusik tidurnya pada pukul satu siang, atas nama rapat penting, si bos menganggap itu sebagai pembangkangan.
Ujung-ujungnya adalah dialog tak bermutu. Si bos mengharuskan bawahan ada pada jam dia bekerja. Anak buah bilang, “Saya kan nggak pernah bangunin Anda pukul dua malam, saat Anda tidur. Kenapa Anda gangguin tidur saya? Jam delapan pagi sampe jam lima sore adalah waktu tidur, tau?”
Di sebuah kantor media, beberapa manajer madya yang nokturnal bikin rapat dan ambil keputusan pukul dua belas malam. Esoknya si bos marah, merasa tak dilibatkan, “Kalo rapat jangan jam segitu. Yang bener aja!”
Aneh, keputusan strategis yang bener dianggap salah lantaran prosesnya berlangsung saat dia tidur.
Pernah terjadi seorang pemimpin redaksi kesal terhadap mitra kerjanya dari bagian bisnis. Mitra kerja tahu, sampai malam awak redaksi masih bekerja, dan sang lurah masih melek sampai pagi. Artinya bisa dihubungi kapan pun selama Mentari masih jauh.
Tidak adilnya, orang malam tidak bisa mengontak orang bisnis pukul tiga pagi. Telepon tak diangkat. Kalau menelepon ke rumah, suaminya yang angkat dengan nada marah.
Suatu kali sang lurah itu mengiyakan saja ketika diminta menyediakan kantornya untuk rapat siang hari. Ketika mitra kerja datang dia masih tidur, lalu bangun ogah-ogahan, menguap, mandi, bercukur, pakai after-shave lotion, mempersegar diri dengan fragrance.
Dia tampil segar. Tapi tamunya cemberut, tampak kusut, merasa kelamaan menunggu. Jawaban sang lurah, “Lha kalian kan mengganggu jam tidur saya? Mana pernah saya membangunkan tidur kalian?”
Saya tak paham psikologi organisasi. Tapi mestinya ada psikolog dan ahli sumber daya manusia yang bisa mencarikan solusi untuk perselisihan semacam ini, karena nyatanya ada orang-orang kreatif dan produktif yang lebih bernyawa pada malam hari.
Menjadikan mereka sebagai satpamwan ber-shift malam tentulah bukan solusi cerdas, karena mereka memang tak cocok jadi satpamwan.
Anda punya saran selain pemecatan? :D
© Ilustrasi: www.universetoday.com