↻ Lama baca 2 menit ↬

GAYA (SEBAGIAN) ORANG MEDIA DI REPUBLIK CALO.

atribut pers :)

Anda pasti pernah menjumpai mobil dengan setidaknya salah satu atribut ini. Stiker keluarga besar TNI-AD/AU/AL, Marinir, Kopassus, Brimbob, Hansip. Replika topi Polisi Militer. Lencana pangkat taruna Akademi Militer.

Buat apa? Kebanggaan dan solidaritas korps. Lucunya korps di sini termasuk keluarga batih: orangtua, paman, mertua, keponakan, ipar, tetangga.

Khasiat atribut itu? Dari segi sugesti dan harapan adalah kemudahan berupa dispensasi. Dari urusan dengan polantas, petugas parkir, sampai serempetan di jalan.

Sejauh saya tahu — silakan Anda koreksi — di negeri lain yang sipilnya kuat, hal begituan tidak ada.

Baiklah, anggap saja kasus Indonesia itu basi bin klasik. Lantas bagaimana dengan atribut pers bagi pekerja media?

Ada yang lupa dan “lupa” mencopot kartu pers (bedakan dengan kartu karyawan) ketika pulang dari kantor. Ada yang malah mencantelkan kartu pers dan stiker pers di mobil pribadi. Ada yang memanfaatkan kartu pers untuk pelancar urusan di luar peliputan, sejak pesan tiket sepur sampai penempahan di hotel.

Di antara pekerja media penggemar atribut ini, tak sedikit yang sebetulnya bukan awak redaksi. Menurut beberapa cerita, kartu itu cukup sakti.

Saya pernah jadi pekerja media, pernah jadi reporter. Apakah saya pernah belagu, secara sengaja memanfaatkan kartu pers untuk urusan di luar dinas, di luar peliputan di lapangan?

Baiklah dengan malu saya akui: ya. Sering? Seingat saya tidak. Yang saya ingat adalah untuk mendapatkan bangku di kereta api dan pesawat (keduanya dengan harga normal), dan… lolos dari tilang.

Untuk urusan telepon, listrik, IMB, dan jasa publik lainnya saya tidak menggunakan itu.

Eh bohong ding, untuk urusan SIM saya pernah memanfaatkan karena anjuran anggota staf petinggi Polda Metro, penanggung jawab lalu lintas. Tahu-tahu saya digandeng ke ruang Pak Perwira, lalu dibuatkan memo, dan seterusnya lancar, padahal saya tak mengeluarkan kartu nama maupun kartu pers. Sandi bisik-bisik sesama petugas pemrosesan adalah, “Keponakan Metro-1”. Bisik-bisik bernada ledekan (bahkan melecehkan) untuk wartawan. :D

Satu hal yang tak saya penuhi setelah urusan beres adalah kembali ke ruang perwira itu. Apakah saya tak tahu berterima kasih?

Kalau saya kembali ke dia untuk melapor pasti akan dikasih uang, dan bukan tidak mungkin berupa dollar Amrik. Tapi yang jelas saya (kadung) membeli formulir karena tak menduga akan dapat kemudahan. Saat itu peminta SIM membludak karena ada operasi entah namanya, sehingga urusan takkan beres dalam sehari.

Kalau dipikir-pikir, pemanfaatan atribut pers untuk urusan di luar dinas itu nggak beda dengan aksi sejumlah serdadu dan anggota DPR (dulu ada loket khusus di Gambir). Membawa nama korps untuk kelancaran apa saja, dengan mengabaikan pengantre lain, jelas melanggar rasa keadilan.

Adapun di tingkat pemakai, ada yang malu-malu dan ada pula yang bangga bahkan pamer. Pada kelas yang “netral”, pemakai jalan pintas atas nama pers ini punya kilah, “Habis gimana lagi, sistemnya gitu sih. Kita kan cuma ngikut.”

Aha! Sistem! Sakti betul kata itu. Cara, kebiasaan, tradisi, prosedur, dan seterusnya, dinamai sistem. Kalau sudah sistem berarti tak terbantahkan, tak layak koreksi.

Setelah mendapatkan pencerahan (ketika masih bekerja di media), bagi saya lebih nyaman pakai calo daripada memanfaatkan status kewartawanan.

Memakai calo berarti mengurangi rasa bersalah, dan merasa senasib sepengorbanan dengan orang lain. Bukankah kita hidup di Republik Calo?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *