TUNGGU SAJA SAMPAI SEMUANYA MENTOK!
Ini masalah di kota besar. Tak hanya jalan yang dipenuhi mobil. Area parkir pun penuh.
Solusi perorangan ada beberapa macam. Dari memakai jasa valet, memesan kapling sebelum datang (untuk yang merasa sebagai VIP), sampai meminta Mbak atau Ibu untuk pegang setir supaya dapat kapling parkir wanita. Setidaknya itu lebih mudah ketimbang mengganti pelat mobil jadi berkode CD.
Akal-akalan lain tentu ada. Di sebuah mal di Jakarta Selatan, terutama pada jam-jam padat, Anda bisa bermain mata dengan petugas valet di lokasi parkir — bukan yang di teras lobi. Begitu satu mobil valet diambil, maka ruangnya bisa untuk Anda, dan uangnya untuk Mas Pale. Sangat Endonesah!
Untuk motor belum ditemukan cara yang bisa dipakai semua orang agar boleh parkir sesukanya.
Mengganti tunggangan menjadi kendaraan patroli polantas tentu berisiko.
Mengganti Mio menjadi Sportster itu susah, padahal beberapa tempat memuliakan motor besar, boleh parkir di depan jendela kafe di mal.
Bagaimana dengan on-steet parking? Lihat saja kantor-kantor polres di Jakarta. Jalanan jadi lahan parkir mobil polisiwan.
Pernah, ketika di Markas Polda Metro Jaya ada apel besar maka mobil-mobil perwira diparkir di sepanjang lengkung tepian Simpang Susun Semanggi.
Polisi saja begitu apalagi bukan polisi. Selain kawasan perkantoran lihatlah kawasan sekolah, terutama SMA dan universitas. Banyak SMA membolehkan murid membawa mobil, padahal tak ada lahan parkir.
Di Gandaria, Jakarta Selatan, mobil-mobil murid Lab School diparkir di jalan-jalan kecil permukiman.
Di Gonzaga, juga Jaksel, sejauh ini lahan parkirnya tampaknya memadai. Saya belum tahu apakah jalan raya juga jadi lahan parkir.
Di Santa Ursula, Jakpus? Saya tak tahu apakah ada anak yang bawa mobil lalu diparkir di Kantor Pos yang dari hari ke hari kian sepi itu. Sejauh ini jalanan sekitar sekolah tidak untuk parkir.
Saya tak tahu apakah lima tahun lagi, di Jabodetabek, akan tersedia lahan parkir pada hari kerja. Jalanan di perumahan saja terpaksa jadi lahan parkir.
Bayangkan jika setiap keluarga punya lebih dari satu mobil karena keapabolehbuatan. Carport hanya muat satu mobil, bahkan kadang saat merenovasi rumah pemiliknya “lupa” bikin carport.
Mau pakai three-in-one, mau menaikkan tarif parkir, mau menaikkan pajak mobil, mau menaikkan tarif tol, itu hanya solusi jangka pendek.
Selama pemerintah tidak serius mengupayakan transportasi publik yang beradab (murah, nyaman, aman, tepat waktu, terintegrasi), maka jalanan kian padat, dan parkiran kian sesak.
Selama pemerintah lalai kewajiban, maka transportasi publik — bila merujuk A’a Nata, calon wali kota Bandung — hanya berarti “transportasi yang diupayakan oleh publik”.
Hasilnya? Dalam pekerti yang mau menangnya sendiri, pengguna jalan hanya akan saling menyalahkan. Pengendara mobil yang tak punya hati akan menyumpahi sepeda motor yang berteduh saat kehujanan di kolong jalan layang (flyover) atau justru di jalan kolong (underpass), serta di kolong jembatan penyeberangan. Dianggap bikin macet.
Atau, jangan-jangan pemerintah itu sebetulnya cerdik sekaligus ndhagel?
Biarkan saja semuanya mentok. Kredit mobil kian gampang, lalu jalan macet, parkir sesak, kere tak dapat tumpangan, dan bahkan bentara jalan atawa voorrijders ogah disewa lagi.
Ketika itu terjadi, mau tidak mau warga akan jalan kaki atau naik angkutan umum. Sebrengsek apa pun angkutan umum itu.
© Foto-foto: blogombal.com