↻ Lama baca 2 menit ↬

SAMA BRENGSEKNYA. KACAU TATA KOTANYA.

“Gimana sih itu motor? Ngobrol jejer berdua gitu, nutupin jalan. Barang kecil tapi boros ruang, disalip nggak bisa. Kalo mau ngobrol tuh brenti, neduh. Huh! #@34%&*!”

Lalu tinnnnnnnnnnnnnn! Bemper mobil sengaja dipepetkan sejengkal dari pantat dua motor yang masing-masing membawa pembonceng.

“Lho, kok marah, Ndoro? Situ nuduh kami kecil tapi boros ruang. Lha situ pake mobil gede cap Fortuner, karena sudah mujur, mobilnya bongsor, boros BBM, papasan di jalan kompleks aja susah, eh cuma dinaikin satu orang. Lha mbok jangan gitu to…” [Bayangkan gaya Basuki, dan bayangkan jika lawannya adalah pengendara Humvee]

mobil versus moor di jakarta

Itu tadi dialog imajiner. Intinya ada beda kepentingan di antara pemakai kendaraan. Dan jujur saja makin banyak pengendara mobil yang jengkel terhadap pengendara motor — begitu pula sebaliknya.

Egoisme pengendara

Kalau dijembreng di sini daftar kekesalan akan panjang. Dari soal penampilan siluman — motor tak tampak dari spion kanan-kiri-tengah mobil, tahu-tahu memotong dari samping — sampai motor yang berteduh ramai-ramai saat hujan di kolong jalan layang sampai dua pertiga badan jalan.

Di sisi lain, pengendara motor menganggap pengendara (juga pemilik) mobil kurang bertenggang rasa, tak mau tahu panas gerahnya naik motor, tak hirau pantat dan brutu (tunggir) yang lebam melepuh.

Saya tergerak menulis ini karena mendapati komentar galak soal motor (di blognya “Puji itu” juga ada). Kayaknya kok mau menangnya sendiri.

Kenapa sampai ada ketegangan, yang berbuntut peraturan aneh dan penolakan oleh bikers? Anak kecil juga tahu, pangkal masalah adalah sistem transportasi publik yang tidak memadai, tak manusiawi.

Tuan tak naik angkot

Inilah prasangka saya. Para penentu kebijakan dan pengambil keputusan selalu membayangkan mobilitas warga kota dilakukan dengan mobil pribadi. Sejauh saya tahu (dulu) tak banyak film Indonesia yang menampilkan pacarannya pengguna angkutan umum seperti “pilem bule”, karena pilihan angkutan kelas upper-middle kedua dunia itu berbeda.

Dalam tuduhan saya, sebagian dari perencana dan eksekutif itu melupakan masa susah naik angkutan umum saat kuliah dan awal kerja. Sistem transportasi publik di Jabodetabek dirancang oleh orang yang sehari-hari tak naik ojek, bajaj, bus kota, dan angkutan umum lainnya.

Hasilnya? Lihatlah bagaimana Jasa Marga terpaksa berkompromi, menyediakan titik tertentu jalan tol sebagai terminal bayangan. Taruh kata semua bus bagus, yang namanya jaringan transportasi tak hanya jalan mulus, tapi juga kemudahan bagi warga untuk berpindah dari titik ke titik.

Hasil lain? Orang naik angkutan umum dan motor bukan sebagai pilihan melainkan keterpaksaan.

Jarang ada wajah sumringah di halte, apalagi saat silau. Orang naik motor bukan dengan enjoyment, tapi kekesalan dan kesiapan berkelahi.

Disiplin, diselipin

Lebih dari semua itu semua ya soal disiplin berlalu lintas (termasuk saya). Nggak motor, nggak mobil, sama ngawurnya. Bedanya, motor lebih banyak sehingga lebih kentara. Ukurannya kecil, lebih leluasa untuk sembarangan, dari main terabas sampai parkir malang melintang semaunya.

Anehnya, beberapa pengendara adalah pemilik mobil. Ketika naik motor tak hirau kerepotan penyetir mobil (“Yang penting lihat depan, mobil belakang yang kudu ati-ati“), ketika naik mobil tak mau peduli keterbatasan motor (“Kalo mobil bisa mengangkangi lubang jalan, motor juga harus bisa“). Untunglah, ada yang mengampanyekan cara bermotor dengan baik.

NB: Itu tadi generalisasi supaya ceritanya menjadi sederhana. Tak semua pemotor maupun pemobil itu brengsek.

Baca:
+ Negeri penghasil motor enggan pakai motor
+ Mari menjemput maut setelah turun dari bus
+ Merdeka untuk berhenti di mana pun
+ Wahai pejalan kaki, enyahlah dari jembatan penyeberangan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *