↻ Lama baca 2 menit ↬

MUNGKIN CARA PIPISNYA BERBEDA. SIAPA SAJA SIH EKSEKUTIF?

wc eksekutif bumnSaking kebelet pipis, saya setengah berlari ke kamar kecil. Tapi sayang pintu peturasan terkunci.

Oh, rupanya itu bukan untuk saya karena saya bukan eksekutif. Padahal kemarin itu saya sedang menjadi tamunya beberapa eksekutif di sebuah headquarter daripada yang mana a state-owned company.

Di akhir pertemuan, setelah pamitan, saya mampir lagi ke toilet. Ya, toilet tanpa keterangan “executive“. Sepanjang lorong saya berserobok dengan satu-dua anggota staf Pak Eksekutif (Pak Kutip). Mereka barusan dari peturasan kelas biasa. Di dalam kamar kecil, saya bersua tangan kanan Pak Kutip.

Soal atribut “eksekutif” ini pun membingungkan. Siapa yang berhak menyandang sebutan hebat itu? Di kantor bisnis komunikasi pemasaran malah banyak eksekutif. Dan media, termasuk radio, senang menggolongkan pendengarnya sebagai “eksekutif muda”.

Anehnya radio untuk orang (tua) mapan tak pernah menyapa pendengarnya sebagai “eksekutif tua”, padahal banyak di antara mereka yang setingkat direktur bahkan CEO (chief executive office [boy]).

Ada yang lebih aneh. Para tuan legislator, yakni para wakil partai yang merasa sebagai wakil rakyat di parlemen, itu oleh kalangan bisnis sering ditempatkan sebagai eksekutif. Trias politika atawa teori separaton of power pun luntur.

Kembali ke markas BUMN kemarin itu. Sayang sekali saya tak mencari tahu apakah Pak Kutip menggunakan toilet khusus itu. Jika ya, berarti ada tiga kemungkinan cara mengaksesnya.

Pertama: membawa kunci sendiri (artinya tidak beda dengan Mas Opisboi).

Kedua: memanggil dan menunggu Mas Kliningserpis untuk membukakan pintu, sambil berharap tidak ngompol.

Ketiga: berseru, “Buka pintu, Sesam!”

Ehm, soal pembedaan toilet itu sebetulnya soal lama. Dari dulu banyak sekolah yang membedakan WC untuk murid dan guru. Mungkin harus dipisahkan agar pemeo tak terbukti. Itu lho, “Guru (wanita) kencing berdiri, murid kencing berlari.”

Bagaimana dengan perkantoran modern di Indonesia? Beberapa petinggi departemen memang punya peturasan sendiri yang dekat dengan ruang kerjanya.

Untuk kantor swasta, hanya juragan besar dari kumpeni yang bergedung sendiri yang punya toilet sendiri. Sedangkan untuk kumpeni modern yang menyewa gedung, tak jarang tempat berbuang bos sama dengan karyawan. Kalau output sama, ngapain juga dibeda-bedakan? Justru kesamaan akses itu yang akan menentukan tingkat kebersihan fasilitas.

Sewa properti kian mahal. Per meter persegi adalah uang. Maka bisa dimaklumi bila di negeri maju ada peturasan kantor yang tak membedakan kelamin.

Memang untuk soal ini (pencampuran kelamin) belum semua orang bisa menerima. Membetulkan lipstik di kaca wastafel di samping pria yang sedang menggunakan shaver belum tentu merupakan hal yang menyenangkan. Tawaran sok ramah bisa menjadi pasal pelecehan, “Mbak mau pinjem cukuran saya? Bisa trimming lho…”

Pembedaan toilet berdasarkan strata kedinasan mungkin juga ada alasannya. Setidaknya mempertipis gunjingan, “Pak Bos kalo pipis lama banget. Jorok, lagi. Netes di mana-mana karena dikopat-kapitkan mulu, sambil kentut pula. Kebiasaan dari kecil ‘kali yak?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *