PERSIAPAN PASKAH PASCA-KONTROVERSI SAMPUL TEMPO.
Misalkan pameran On Last Supper di Cemara 6 Galeri ini muncul bareng kontroversi sampul Tempo yang menggambarkan Keluarga Cendana dalam Perjamuan Terakhir ala Leonardo da Vinci, mungkin akan lebih seru pro-kontranya.
Ah, itu cuma pengandaian saya. Tapi cara saya melihat persoalan tak berubah. Kalau saya ringkas jadi begini: jika masalahnya hanya bertolak dari karya Da Vinci, bukan menerakan alam perlambang, maka itu bukan soal.
Tempo telah menempatkan Keluarga Cendana, dengan sang kepala keluarga menempati posisi Yesus di tengah, pada sampulnya beberapa waktu lalu.
J. Ariadhitya Pramuhendra (Hendra, 24), perupa muda yang keponakan saya itu (kadang saya panggil “Le”), menempatkan sosok dirinya dalam ketiga belas tokoh (Yesus dan 12 murid), bahkan menirukan bahasa tubuh mereka dalam enam gambaran charcoal di atas kanvas dan tiga keluaran cetak digital.
Ketika sampul Tempo mengundang protes, saya memahami keberatan sekelompok pemuda Katolik itu. Di sisi lain saya juga tak menganggap Tempo sepenuhnya salah (dengan kata lain juga tak sepenuhnya benar, hahaha).
Waktu itu, dalam diskusi dengan anak saya di meja makan, saya katakan bahwa Perjamuan Terakhir, sebagai karya manusia, telah mengalami reproduksi dan pengemasan ulang ratusan bahkan mungkin ribuan kali.
Setahu saya tak ada bukti sejarah yang sahih bahwa suasana perjamuan memang seperti itu. Da Vinci — dengan segala kontroversi ala Dan Brown — hanya merekonstruksikannya ke dalam mural. Lantas karya yang mengikon itu (dan sebagian besar tiruannya), bagi orang tertentu mungkin diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Berikutnya, karya manusia yang menjadi bagian dari perlambang itu pun diangap sakral. Hiasan salib dan patung Yesus, serta Maryam, jelas bikinan manusia. Hanya saja tradisi gereja, seperti halnya kelompok keagamaan lainnya, telah menempatkannya sebagai lambang suci.
Artinya urusan telah masuk ke wilayah peka. Di situlah Tempo kesandung: antara konsep visual dan persepsi sebagian khalayak ternyata kagak nyambung.
Cara pandang saya bisa salah. Mungkin karena kombinasi burook dalam diri saya: sudah sekular, bukan orang protesan yang baik dan benar pula.
Dengan cara pandang itulah saya bisa menerima ekspresi si Thole yang sekarang berbadan gempal. Ekspresi macam apa? Yaitu kegelisahan dalam pencarian bentuk estetis sebagai artis (eh, seniman) maupun laku relijius sebagai anak muda Katolik. Sebuah ekspresi dan kegelisahan yang “binal sekaligus banal” menurut Romo Y.H. Christyanto, O.S.C. dalam pidato saat pembukaan pameran.
Perjamuan Terakhir, sebagai lukisan maupun terutama rujukan utama ekaristi, dia hayati penuh pencarian dan gundah dengan menempatkan dirinya sendiri.
Hubungannya dengan Tempo? Tidak ada. Rangkaian karya itu disiapkan berbulan-bulan sebelum Tempo terbit. Tapi kalau harus dicari-cari hubungannya, itu ada pada bakso. Sampul Tempo memasang mangkok bakso bergambar ayam. Meja perjamuan Hendra dirujuk dari pemotretan meja bakso.
Maju terus, Le! Ars longa, vita brevis.