KEMASAN SOSOK KITA DI MATA ORANG LAIN — DAN SEBALIKNYA.
Bocah-bocah cover version itu lucu. Menyenangkan. Menghibur. Dari gaya dan alat yang mereka mainkan dalam Miracle itu kita segera mengenali mereka sebagai tiruan personel Queen.
Secara umum, bagi saya, klip-klip video Queen membosankan. Hanya satu-dua yang bagus. Misalnya, yang menyentuh, adalah Brian May dalam setting studio melantunkan Only the Good Die Young. Yang di atas kereta api juga bagus. Selebihnya, klip Queen ya cuma gitu-gitu aja. Lebih enak mendengar lagunya.
Saya ingat klip lawas itu ketika mendengarkan Queen. Saya cari di YouTube ketemu. Lantas apanya lagi yang menarik?
Gaya busana Queen memang mudah kita kenali. Brian May dengan kemeja katun dan rompinya. John Deacon dengan celana pendek dan oblong komik. Roger Taylor dengan kaos tawon dan kacamata hitam. Freddie yang yah… gitulah.
Itu lumrah dalam industri hiburan. Malah banyak grup yang mengemas tampilan agar citranya menancap ke benak konsumen. Dulu, ketika Ratu masih ada, kayaknya sulit untuk meminta sesi foto agar mereka berkebaya. Emak-emak itu tetap mengemas diri dalam J-pop.
Aha! Kemasan diri! Dari foto-foto “resmi” Ahmad Dhani dan Dewa, saya mendapatkan kesan itu. Karena Dhani dominan, dan company bernama Dewa telanjur jadi personifikasinya, maka kesan gemagah dalam berbusana (dan interior rumah) pun tampak di sana. Bandingkan dengan foto Piyu di Davinci dalam Rolling Stone — padahal itu properti pribadi.
Kebetulan Dhani memang cocok untuk itu. Dia sumbut, sembada (apa bahasa Indonesianya?). Mau dibilang megalomania atau apa (angkuh, bagi yang tak suka), bagi saya dalam sebuah potret yang bagus dia memang bisa menjadi dirinya sendiri.
Majalah foto Snap! (almarhum) pernah memuat Dhani berendam di bath tub, menunjukkan badan gempal berbulu, sambil mengisap cerutu. Mantap, penuh percaya diri, sukses. Dhani bisa difoto dalam pakaian kere, tapi ekspresi dan bahasa tubuhnya mungkin tetap memancarkan kekuasaan, bukan wajah orang kalah.
Gaya gagah memang cocok untuk Dhani. Tapi gaya bossy jadi aneh dan tampak membuat kikuk untuk seorang Chrisye (alm) yang bersetelan jas dengan latar depan kaki wanita berbalut stoking. Demikian pula foto karikatural Chrisye jadi pejabat otoritas moneter. Chrisye yang introvert dan pemalu bukanlah aktor dan model foto, sehingga tidak bisa menjadi orang lain. (Sosok dan bahasa tubuh Eros malah cocok sebagai bos hahaha!)
Sekarang kembali ke kehidupan orang-orang biasa. Saya kadung punya persepsi tentang sobat saya sebagai lelaki dengan kemeja kotak-kotak dan Levi’s 501 — karena itulah yang sering dia pakai di segala cuaca dan kesempatan.
Sobat lainnya selalu tergambar beroblong, dengan jins belel, dan boot jenis all condition gear, plus wajah yang ngantuk kelelahan. Belasan tahun berkawan gambaran itu tak memudar.
Ada lagi. Seorang bekas sejawat selalu tergambar sebagai pria muda berkemeja oranye — padahal bajunya banyak, tapi entah kenapa baju itu yang mengesankan saya. Mungkin sama seperti otak saya menyimpan sosok Pakde Totot: lelaki berpakaian hitam, mirip Permadi.
Fashion adalah pernyataan diri. Orang yang ngelemprot, berpakaian semaunya, bahkan mengambil ganti dari lemari secara acak, juga sedang menyatakan diri sambil berharap citranya di mata orang lain akan seperti yang dia harapkan. Yaitu orang sederhana yang ngelemprot, berpakaian seadanya. :D
Itu sama sahnya dengan seorang musisi yang dalam foto-foto resmi meniru gaya jenderal, mafioso, dan bapak bangsa. Yang penting dia nyaman. Mata orang lain terganggu itu kan masalah mereka.
Bagaimanakah Anda menyimpan citra tentang teman-teman Anda? Apakah gaya busana mereka juga tersimpan — meskipun itu tak mewakili sosoknya secara keseluruhan?