Titik Jumpa

▒ Lama baca 2 menit

KETIKA RUMAH BUKAN LAGI TEMPAT MENERIMA TAMU.

blok m jakarta

Inilah kota. Jarak antarrumah memakan waktu dan tempuhan. Maka tempat umum pun dijadikan meeting point, untuk urusan antara dua orang atau lebih. Bisa cuma dua orang, tapi masing-masing mewakili sejumlah orang lain.

Titik jumpa itu bisa di pasar, seperti dalam gambar. Bisa di kedai. Bisa di tempat lain yang tak ingin terlihat. Polanya sama. Berangkat dari rumah, sekolah, atau kantor masing-masing. Bisa tiba di tempat berbarengan. Bisa juga, atau sering juga, salah satu harus berposisi sebagai penanti. Pulangnya bisa bareng, boleh juga sendiri-sendiri.

Kota adalah ruang hunian. Tapi jika kita bicara kota besar maka urusan yang mestinya sederhana menjadi rumit: bertemu di mana?

Rumah, indekosan, kontrakan, asrama, mess, adalah ruang privat. Tidak bisa semua urusan dibawa ke sana. Mungkin atas nama pasal pekerjaan dan nafkah. Bisa juga untuk memisahkan ranah dalam pergaulan sosial: ada yang bisa di rumah, ada yang tidak, bahkan perjumpaan antarsaudara pun kadang di kedai.

Malah suami-istri pun kadang meluangkan makan siang bersama di sebuah kedai, terpisah dari kantor masing-masing. Mesra dan urban, kata seseorang. Seperti kurang tempat, kata yang lain. Apakah setiap malam tidur di ranjang yang sama itu masih kurang, tanya yang lainnya lagi.

Tentang suami-istri, seorang perempuan bernama Pertiwi sering tak tahu suaminya, yakni Bob, pengusaha besar, berkuasa pula pada zamannya, malam itu ada hotel yang mana. “Mana” yang dia maksud adalah kota — bisa juga di negeri lain. Kesibukan dan pengejaran nafkah membiasakan beberapa pasangan untuk menoleransi jika salah satu tak tidur di rumah.

Kemudian orang pun bertanya: di kota besar itu, apakah yang disebut sebagai silaturahmi?

Orang sok bijak akan menjawab: bukan soal kota besar atau kota eks-kawedanan, karena silaturahmi ada di hati dan benak, adapun hubungan bisa melalui jaringan telekomunikasi, dan kalaupun hendak bersua tinggal pilih titik.

Kota, yang besar atau kecil, adalah ruang hunian bersama yang mestinya memberikan kenyamanan bagi warganya, baik secara individual maupun komunal, untuk apa saja tanpa saling merugikan.

Karena rezeki, hunian, dan kebiasaan, maka kelas menengah bisa mensyukuri apa yang diyakininya sebagai berkah privasi. Dia beli mobil baru pun tetangga sebelah tak tahu dan tak mau peduli.

Menjadi masalah ketika kebutuhan akan privasi tak didukung oleh sekeliling, tapi nilai keguyuban lama masih membuai. Menjadi tanggung memang repot. Baru menyusuri gang sambil menenteng tas besar, untuk mencari taksi di jalan raya, semua tetangga langsung menyimpulkan, “Oh mau kabur ke luar kota, ya? Sampai kapan? Siapa yang akan urusi suami dan anak-anakmu?”

Orang mapan akan meledek, “Salah sendiri kenapa tinggal di sana?” Reserse dan reporter, yang memang digaji untuk menggali informasi, menyukainya karena akan mendapatkan bekal dari lingkungan yang saling kenal. Perkecualian berlaku untuk lingkungan yang isinya maling semua karena mereka akan tutup mulut.

Dulu, ketika orang hidup dalam puak di rumah besar, atau sekumpulan rumah kecil, sehingga setiap urusan adalah hajat hidup bersama, persoalan macam itu mungkin belum terasa. Perjumpaan dengan orang dari puak lain yang berasal dari balik bukit adalah urusan bersama.

Kota, besar atau kecil, adalah ruang huni yang mengajarkan banyak hal. Di Yogya, likuran tahun silam, seorang pemuda culun menjadi kikuk ketika tiba di rumah seorang tukang bangunan yang belum dikenalnya di sebuah kampung berjejal. Pembicaraan tentang rencana perbaikan rumah disaksikan seisi keluarga dan beberapa tetangga yang tiba-tiba duduk di teras.

“Bagaimana kalau kita bicarakan di lain tempat, di rumah saya besok?” adalah lontaran yang tak sesuai iklim saat itu.

“Njenengan sudah jauh-jauh sudi kemari, kenapa ndak dirembuk mateng sekalian sekarang?” adalah jawaban yang menjadi pagar.

Kota terus berubah. Pola interaksi warga juga bergeser. Kini tukang punya ponsel, bisa di-SMS untuk diajak bersua — tanpa rubungan keluarga dan intipan tetangga. Ada banyak, dan semakin banyak, titik jumpa. Dan orang pun semakin terkotak-kotakkan.

Tinggalkan Balasan