PEMISAH ATAU PENYATU DUNIA LUAR DAN DALAM?
Warung. Jendela. Dengan atau tanpa kaca. Sejak zaman dulu ada. Kartun Indonesia sejak tahun 60-an sering memuat adegan mengudap di resto, dekat jendela kaca bertuliskan “restoran” (menjadi terbalik jika dilihat dari dalam). Setting bangunan kolonial memang menghadirkan banyak resto macam itu — ingat Oen, kan?
Warung. Jendela. Saya lupa apakah ada bingkai dalam sebuah komik silat Ganes Th atau Dja’ir yang menunjukkan seorang pengunjung — kalau bukan jagoan ya bajingan — sedang duduk nyender di jendela, dengan posisi seperti naik angkutan umum.
Warung. Jendela. Tak harus berbingkai kusen. Dinding tenda, sebagai tabir, pun cukup menjadi penyekat. Itu bagian dari keseharian kita. Tiada persoalan di sana — kecuali bagi orang kreatif. Iklan Sampoerna A Mild edisi Ramadan, beberapa tahun lalu, cukup menampilkan jejeran kaki orang duduk di balik tenda.
Warung. Jendela. Warteg lama cukup menjarangkan papan geser di jendelanya, tapi saat Ramadan akan menambahinya dengan tirai berbahan kain. Hal sama, saat bulan puasa, juga dilakukan oleh warung burger dan ayam-dan-kentang di pusat perbelanjaan yang jendela kacanya setinggi meja sampai langit-langit ruang, mirip akuarium. Bagian jendela, setinggi meja ke bawah, dengan atau tanpa puasa, kadang ditutupi film kaca atau stiker karena tak semua pengudap — terutama wanita — merasa nyaman jika kakinya terlihat dari luar.
Warung. Jendela. Desainer interior adalah simpul pemertemu kepentingan pengudap dan juragan kedai. Mereka sadar, sebagian besar pengudap tak nyaman berada dalam kepompong, tak suka menjadi biji yang dibungkus tepung dalam kacang sukro. Ketika AC mulai dikenal, jendela yang tak mengemban fungsi penghawaan pun tetap diperlukan. Mata pengudap butuh ventilasi — yah, bila perlu dengan penghalang sopan berupa tabir air.
Warung. Jendela. Juragan kedai ingin dagangan dan tamunya terlihat. Pengudap tertentu kadang juga nyaman saja kalau terlihat dari luar. Bersantap, dengan membayar, di tempat yang ramai adalah urusan setengah-setengah. Setengah privat, setengah publik. Tapi titik tengah bisa digeser ke kiri atau kanan, bergantung ingin berat ke mana, privat atau publik. Dalam urusan ini pula fotografi (termasuk dengan kamera video atas nama hard news maupun “infotainment”) ikut memperkaya persoalan — baik untuk dirembuk maupun bahan perkelahian dengan centeng pesohor.
Warung. Jendela. Blog. Dengan atau tanpa gambar, blog tetaplah sebuah teks. Artinya terbaca, tertafsir, dan bukan tak mungkin terumuskan untuk menggambarkan sosok si blogger beserta dunia kecilnya. Yang tersurat pun masih mengudak rasa ingin tahu pembaca untuk menyibak yang tersirat. Tombol geser mana yang privat, mana yang publik, ada di tangan — dan benak — banyak orang. Tapi itu risiko ngeblog kan?
Warung. Jendela. Blog. Dan kita — ya, kita semua. Ketika ngeblog menjadi salah satu pilihan untuk menyatakan diri, atas nama unjuk diri maupun niat berbagi, maka risiko selalu ada. Orang bilang, itu risiko pergaulan yang menjebak orang menjadi narsisis sekaligus eksibisionis. Bahkan setelah sumber amatan menarik diri dari pergaulan maya, tak semuanya terlupakan atau terhapus, karena ada robot yang setia — dan usil — mencatatnya.
Warung. Jendela. Blog. Dan kita — ya Anda, ya saya. Masihkah Anda berminat untuk meneruskan ngeblog? Memang sih, kita juga bisa ngeblog selagi dalam warung — tapi bukan itu kan persoalannya?