↻ Lama baca 2 menit ↬

KENANGAN MASA BOCAH. BAGAIMANA DENGAN ANDA?

pulang sekolah

Ketika kemarin melihat tiga anak pulang sekolah, menyusuri bahu jalan tol Jagorawi di Sentul, saya teringat masa kecil. Pulang bareng. Anda pun pasti punya kenangan itu. Maka bagilah di sini…

Dulu, semasa saya bocah, pulang bareng diisi dengan bualan anak lelaki: membanggakan kehebatan dan kejohanan kakak, bapak, paman, kakek, saudara jauh, dan saudaranya saudara dari ipar sepupu tirinya ibu.

Pulang bareng kadang juga diwarnai kenakalan. Meledek serdadu jaga di rumah monyet. Memasuki terowongan drainase. Mengganggu orang gila (lha apa bedanya kami dengan dia?).

Kami pernah dimarahi dan dihalau oleh penjual ramalan buntut (semacam togel) karena saya bertanya, “Lho, kalo Bapak tahu nomer yang bakal keluar kenapa ndak masang sendiri, diam-diam?”

Seorang penjual obat di kaki lima juga pernah mengusir kami karena posisi saya yang jongkok terdepan memergoki gerak cepat tangannya mengambil sebatang rokok dari saku bajunya.

“Ini sudah siang, anak sekolah harus pulang, sudah ditunggu Ibu. Nggih, nggih?” katanya dengan bahasa Jawa halus. Para penonton tertawa.

Itu pengalaman kelas empat sampai enam SD.

Paling mendebarkan ketika diajak anak-anak bengal panti asuhan menonton judi dadu dan rolet piringan hitam di pasar ayam. Ternyata pemenang akan ditahan oleh anak buah bandar, tak boleh meninggalkan arena. Harus terus bertaruh. Kencing pun dikawal.

Banyak ngider itu berlangsung karena saya sudah bertambah besar. Lebih penting lagi: rumah saya sudah pindah, tak ada lagi musuh.

Ketika saya masih kelas satu sampai dua SD, beralamat di rumah lama, saya sering dicegat dan diganggu anak-anak nakal — sebagian sudah berbadan besar (kakinya sudah berbulu, tapi belum lancar membaca), beraninya keroyokan pula. Kadang ketika saya bisa pulang bareng mbakyu saya, kami juga harus mencari jalan selamat.

Saya paling senang kalau ada tumpangan, baik dengan sepeda Pak Anu dan Oom Itu maupun mobil oleh Pak Pendeta yang mendengar panggilan saya. Gembala yang baik bisa menyelematkan anak domba yang terancam oleh sekawanan serigala. :D

Suatu hari saya sudah dicegat gerombolan serigala itu di pertigaan. Saya segera belok ke rumah sejawat Bapak yang biasa dipanggil Pakdhe. Menunggu situasi aman.

Akhirnya lewatlah seorang mahasiswa, yang saya panggil Oom Danny. Saya diboncengkan di palang sepeda laki. Selamat. Setidaknya untuk hari itu.

Saya tak tahu cara melawan mereka. Pernah saya berkhayal mendapatkan ilmu sihir sehingga bisa membuat mereka jadi bekicot. Khayalan tinggal khayalan.

Satu-satunya cara, terutama kalau cuma menghadapi satu anak, dan berbadan kecil pula, ya harus berani. Waktu itu saya sudah tahu rumus menghadapi mereka sampai tuntas, tapi penerapannya susah — tepatnya: mustahil.

Apa? Hajarlah yang terkuat, tertua, terbesar, gigit kupingnya sampai putus, dilepeh, lalu dipipisi, ambil, jejalkan ke mulut anak terlemah. Pasti yang lain ngeri. Tapi rumus tinggal rumus. Lihat orangnya dari jarak 200 meter saja saya sudah kuncup nyali. Sadisme, sebagai imajinasi, bisa muncul dari kesumat jiwa yang tertekan.

Kenapa saya sering dicegat rombongan serigala jahat? Yah karena rumah saya paling jauh. Dalam perjalanan pulang bersama, teman seiring akhirnya berkurang satu per satu setelah mereka belok ke rumah masing-masing. Sisa perjalanan berikutnya berarti selagi asyik melamun tahu-tahu dijitak.

Tak pernah sampai ke pemukulan dan penendangan. Tapi jitakan, dan kadang cuma mendorong-dorong tubuh, bagi saya itu menyakitkan. Sampai ke hati. Untung tak terbawa ke mimpi.

Meskipun begitu ada juga pengalaman terindah. Tibalah hari itu: kami pindah rumah. Saya minta izin Bapak untuk ikut truk terakhir, duduk di atas tumpukan barang.

Alangkah nikmatnya melambaikan tangan ke arah serigala jahat selama perjalanan sambil menjulurkan lidah. Penuh kelegaan. Selamat tinggal neraka! Selamat datang dunia baru — yang aman!

Hari pertama masuk sekolah, Ibu mendampingi anak-anak supaya tahu rute. Hari kedua saya pulang sendiri. Dasar kelinci yang meniru gajah pengulang rute, ketika tiba di hot zone saya baru sadar mestinya tak lewat markas serigala karena rumah saya sudah pindah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *