KETIKA KOMPAS MEMBAHAS SWALAYAN WANITA.
Di manakah batas antara sajian psikologi popular dan erotika jika menyangkut seksualitas? Mungkin batasnya ada pada bingkai pemahaman pengelola media dan pembaca yang, semoga saja, berimpit dalam irisan (bukan arisan) yang sama. Selebihnya adalah imajinasi, norma, dan mood masing-masing pembaca.
Kompas Minggu kemarin, dalam rubrik asuhan Leila Chairani Budiman, istri Arief Budiman itu, ada tanya-jawab tentang masturbasi wanita. Titik tolak pembahasan adalah sebuah kasus pribadi si penanya, seorang gadis. Judulnya: “Apakah Saya Gila?”
Adakah yang aneh? Tidak ada. Adakah yang gila? Waras-waras saja. Adakah yang nggilani? Nggak.
Lantas di mana menariknya? Sebagai teks dalam sebuah rubrik konsultasi, di media Indonesia (bukan media asing), itu biasa-biasa saja. Majalah lain juga memuat dan membahas hal sejenis — apalagi majalah wanita muda urban. Memperbincangkan swalayan itu sewajar ngobrolin belanja, tata rias, film baru, CD anyar, kafe nyaman, diskon spa, dan kencan. Tak ada yang aneh.
Tapi ketika itu muncul di Kompas, dalam gepok lipatan yang biasanya juga membahas masalah keluarga, termasuk keuangan, maka bagi saya itu menarik. Sebuah gerak perubahan telah tampak. Ya perubahan Kompas, ya perubahan pembacanya.
Tentulah Bu Leila tak mencari sensasi. Begitu banyak surat yang masuk, dan semuanya harus melampiri diri dengan bukti identitas yang jelas. Dari beragam masalah tentu saja harus ada seleksi, agar dari Minggu ke Minggu tak hanya memunculkan sulitnya mendapatkan jodoh.
Adapun Kompas, selama ini telanjur tercitrakan santun dan berhati-hati. Persoalan macam itu biasanya disajikan dingin dan klinis. Tentu persoalan swalayan wanita bisa muncul di rubrik konsultasi Pos Kota (memang pernah) dengan pembahasan yang sesuai konsep produk dan segmentasi koran itu — lebih juicy.
Ada hal yang harus dikomunikasikan, dibagikan, didudukkan, dengan harapan akan mencerahkan dan membentuk bingkai pemahaman yang “benar” bagi penanya maupun pembaca. Persoalan dalam seksualitas wanita bukanlah sesuatu yang harus dibiarkan berlama-lama mendekam dalam lipatan seprei dan buku harian.
Jika persoalannya ditilik dari erotika, itulah kesempatan untuk mengarungi kekayaan hidup — tanpa harus menjalaninya. Sastra, musik, dan film, toh juga mengemasnya. Day, putri saya, ketika kelas dua SMP, malah diminta oleh Bu Gurubahasa untuk membaca Saman-nya Ayu Utami. Dia juga pernah minta izin saya membaca Sang Guru Piano-nya Elfriede Jelinek, tapi tampaknya tak rampung.
Dorongan seksual itu alami, tapi perilaku seksual bisa (baca: kadang harus) dipelajari. Dengan latar itulah saya melihat pemuatan surat pembaca untuk dikonsultasikan di Kompas Minggu.
Bagi pembaca, itu juga berarti sebuah kesiapan untuk ditanya putra dan putrinya setelah mereka membacanya. Editor Kompas mungkin juga sudah memperhitungkan hal itu, karena mereka (mungkin) memahami perubahan dalam masyarakat pembacanya.
Jika ada tanya, jangan keburu menyalahkan anak; salahkanlah diri sendiri kenapa kadang tak siap menjawab.
© Foto asli sumber ilustrasi: embuh (model: Arielle Lee)