Tidur (dengan maupun tanpa Dengkur)

▒ Lama baca 2 menit

KETIKA KANTUK OGAH JADI SETERU.

 

Tidur di pasar Cikini Jakarta Pusat

Tadi, tengah malam, warung rokok dekat masjid itu dikerumuni beberapa orang. Sejumlah pembeli dan tukang ojek yang mangkal di depan warung, bergotong-royong membangunkan Salim, si pemilik warung, yang sedang tertidur pulas.

Mungkin Salim sedang larut dalam mimpi selagi merebahkan diri di atas papan berlapis tikar dan kardus bedahan. “Bininya pulang kampung sih, nggak ada yang nemenin,” kata Bang Ojek.

Tidur pulas. Berbahagialah mereka yang bisa mengalaminya saban hari, entah siang entah malam. Bandingkan dengan pengidap insomnia karatan yang selalu gagal menjemput lelap padahal kantuk sudah menjerat.

Tidur pulas. Mungkin soal tempat. Mungkin soal kebiasaan. Bisa saja mereka yang terbiasa terlelap di kamar dan ranjang nyaman akan heran melihat orang tidur lelap di pasar.

Juga bisa, maksud saya mungkin saja, orang yang terbiasa tidur sembarangan justru tak bisa merem ketika pertama kali tidur di hotel — lima berlian, “kamar presiden” pula. Tanpa gangguan nyamuk dan kebisingan bisa membuatnya terasing dan pangling terhadap diri sendiri.

Saya, terus terang saja, ngantukan. Pernah ketika pendeta bilang “Amin!”, saya masih terpejam dan menunduk, dengan tarik-embus napas panjang teratur. Sikutan istri membangunkan saya.

Tidur. Mungkin persoalan sepele. Semata menyesuaikan diri dengan giringan alam. Toh sepertiga hidup kita mungkin memang untuk tidur.

Menjadi masalah ketika kantuk datang selagi menyetir. Saya pernah naik motor, sendirian, dalam keadaan ngantuk berat. Saya terbangun sudah terduduk di atas aspal, di samping becak terguling, berikut tukang becaknya yang marah-marah. Itu di depan Hotel Srimanganti, Yogya, pagi hari sehabis begadang, akibat mengabaikan larangan Bang Rhoma, “…boleh saja kalau ada artinya.”

Roda dua saja berbahaya apalagi roda empat. Maka untuk perjalanan jauh sendirian, terutama ketika kantuk menyergap siang menjelang sore, singgahlah ke sebuah kota. Carilah bioskop. Jangan pedulikan filmnya. Tidurlah. Semoga berhasil.

Tapi manusia memang aneh. Sebagai penumpang maupun pengemudi, kadang kantuk membuai justru ketika kendaraan sedang melaju. Begitu berhenti, kantuk memang belum sirna tapi tidur tak tergapai lagi. Tertidur dalam kotak yang bergerak mungkin serasa bayi dalam gendongan — atau pangkuan.

Begitu juga dengan orang yang tertidur di depan TV atau di samping radio. Ketika siaran selesai malah terbangun. Lagi-lagi terbukti, manusia dewasa merindukan jadi bayi yang harus dininabobokan oleh suara.

Saya dulu, ketika kantuk mulai menelikung sehabis tenggat menjelang pagi, kadang datang ke area teman-teman yang ngobrol. Mendengar mereka berceloteh, apalagi menanggap salah satu untuk bercerita, adalah pengantar tidur yang efektif. Tahu-tahu hari sudah siang. Saya masih terbaring di atas tiga kursi yang dijejer. Sendirian.

Kantuk sampai tertidur juga bisa menjemput kita saat rapat. Ada yang bilang itu normal. Tapi untuk anggota DPR, fit and proper test-nya mungkin juga mencakup abnormalitas mereka.

Maksud saya pilihlah calon legislator yang abnormal dalam arti tidak ngantukan. Percuma bersidang dengan biaya mahal, termasuk dari anggaran ajaib counterparts, tapi cuma tidur.

Tinggalkan Balasan