MEMANGNYA BUAT APA?
Pukul satu pagi kurang lima. Apotek di tengah blok ruko panjang nan senyap, di Serpong, itu masih buka. Memang harus buka. Itu apotek 24 jam. Tapi pukul sepuluh malam sampai enam pagi hanya melayani pembeli dari loket. Demi keamanan. Saya belok, parkir, mengamati, berbicara dengan petugas dengan menanyakan obat yang tak ada.
Hmmm… 24 jam. Apa iya kita butuh semua layanan itu? ATM, online banking, mobile banking, ngeblog, e-mail, chatting, cetak digital, lapak koran, warung, toko swalayan, TV, ojek, angkut, taksi, judi, hiburan?
Saya membutuhkannya dan terbantu dengan segala jenis layanan 24 jam.
Segala? Tidak. Hanya beberapa. Di Kota, pecinannya Jakarta, ada tiga money changer 24 jam tapi saya tak ada alasan ke sana. Di sekitar sana juga ada tempat hiburan 24 jam (orang masuk Jumat, keluarnya Senin), dan tentu penghibur 24 jam yang stand by di indekosan masing-masing, yang menjawab telepon dengan menguap dan kucek-kucek mata (mungkin lho — mana saya tahu, cuma menerka kok).
Kehidupan modern butuh layanan 24 jam, kata kita. Di lampu merah Demangan, Yogya, akhir 70-an, juga sudah ada warung 24 jam. Dia ada sedia kertas, bolam, lilin, bir, kacang telur cap Mliwis, kopi Thio, kopi Jamaica. Hanya fotokopi yang tak dia sediakan.
Dulu, dulu banget, kehidupan pasar masih sederhana. Ada yang buka hanya sepekan sekali. Maka di mana-mana tempat di Jawa ada Pasar Legi, Pasar Kliwon, Pasar Pahing. Di Jakarta ada Pasar Senen, Pasar Minggu, Pasar Rebo.
Ya, boleh saja kita bilang ekonomi pasar dan pola konsumsi saat itu belum kompleks. Tanpa layanan 24 jam orang sudah bahagia. Belum ada alasan bertransaksi langsung-dari-jauh dengan daratan lain yang beda waktu.
Dulu layanan 24 jam cukup ada di kantor polisi, rumah sakit, dan dinas pemadam kebakaran. Bahkan lokalisasi pelacuran pun, resminya, tak buka 24 jam. Malam hari adalah saat tidur (dan kelon) di rumah masing-masing, kecuali mereka yang dapat giliran ronda.
Kemudian datanglah keajaiban bernama listrik. Rumah judi tak memasang jendela dan tanpa jam dinding agar orang lupa waktu. Mereka yang ngantornya dalam bilik tanpa jendela tak mengenal siang dan malam, hanya tergantung pada arloji dan jam di komputer maupun ponsel.
Kini tak ada lagi jeda dan peralihan aktivitas saat pelita dinyalakan — mungkin karena itu (maaf kalau saya salah) ada sembayang lima waktu agar orang selalu ingat untuk menata diri. Kini gelap dan terang dalam ruang tak lagi mengenal waktu. Hanya tergantung pada saklar dan timer. Matahari tetap di luar rumah. Jauh dari rumah.
Kini setelah banyak kebutuhan kita terlayani 24 jam, apakah kita bahagia, merasa hidup ini tercukupi?
Jawaban Anda pastilah, “Hayah, mau nanya aja pakai muter-muter kasih ilustrasi.”