↻ Lama baca 2 menit ↬

MUNGKIN ANTARA BUTUH DAN TAK BUTUH.

Sopir sedang membaca koran di Mal Mangga Dua Jakarta

Ini bukan pertanyaan titipan agen ganda (ya agen majalah, ya agen koran, ya agen pulsa, merangkap agen perubahan). Juga bukan pertanyaan untuk Serikat Penerbit Suratkabar. Maka, seperti biasa, saya tidak mau merepoti diri dengan merujuk data. Lebih menarik kita bertukar pengalaman dan pandangan personal, kan?

Koran. Yang versi cetak, yang bisa dipegang, yang bisa dibawa ke toilet, itu masihkah Anda baca?

Iya, koran yang bisa buat bungkus dan alas kandang burung. Koran, yang menurut keponakan saya, waktu dia TK, dibuat oleh lopernya semalaman, lantas paginya diantar ke rumah mbah kakungnya.

Saya masih baca koran. Kadang saja. Tak semua isinya (makanya nggak hapal nama menteri). Tapi masih berlangganan. Kadang iklannya lebih menarik. Koran pun kadang saya baca telat, keesokan harinya. Sudah pasti jadwal TV di koran kemarin tak saya simak.

Para editor tahu bagaimana mengemas berita. Bukan hanya tahu, tapi mengerti. Yaitu bagaimana membuat tulisan yang boleh dibaca sekilas, kalau perlu dari judul dan pembukanya kita sudah mencium isi. Perancang grafis juga sangat memahami kemalasan pembaca.

Memang ada yang ekstrem seperti Lampu Merah itu: pembaca cukup mengunyah judul dan catcher, pull quote, atau apalah namanya. Lalu selesai.

Ada juga koran yang tebal, muncul dua kali sehari, pagi dan sore, misalnya Seputar Indonesia. Bisa kenyang membacanya.

Saya tadi bilang bukan pertanyaan agen. Tapi izinkanlah saya menceritakan ocehan beberapa loper. Di pinggiran Jakarta, tepatnya Jakarta coret, sebagian orang tak mau berlangganan koran karena mereka berangkat kerja terlalu pagi, sebelum koran datang. Hanya Sabtu dan Minggu mengedarkan koran eceran itu menguntungkan.

Juga dari loper, dan seorang penagih utusan agen, saya dapat kabar bahwa yang paling menarik itu jualan tabloid, terutama kalau di TV lagi ramai gosip seleb. Barusan saya dapat kabar, seorang agen selalu pusing karena kerap kehilangan beberapa tabloid tentang artis pada pagi hari, saat pengedropan dan penyortiran, sementara koran tak ada yang mau mencuri.

Koran. Yang versi cetak itu. Sekian lama kita akrabi. Kita jadikan jendela informasi. Jadi contoh dalam pelajaran. Jadi lirik lagu. We can try to understand the New York Times’ effect on man, menurut Stayin’ Alive yang belum kenal koran online, tiga dasawarsa lalu. Di simpang jalan Tugu Pancoran, tunggu pembeli jajakan koran, kata Iwan Fals tahun 80-an.

Zaman sudah beda. Informasi tersaji oleh banyak media — silakan Anda sensus sendiri. Koran terus mencoba menyiasati persaingan dengan radio, televisi, dan internet (tata rupa Kompas baru maunya memahami generasi internet). Bahkan kemasan koran juga cenderung memajalah.

Koran cetak paling cepat hanya menyajikan berita tadi pagi dan tadi siang. Jadi masihkah Anda membaca koran, dan… keluar uang untuk itu?

Oh tentang sang bocah, yang ramah menawarkan koran, membawa berita yang sama, seperti tak ada berita lain. Itu kata JSOP dan Iwan Fals melalui God Bless.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *