… LALU KEMBALI KOTOR.
Dulu, waktu masih sekolah, saya punya alasan untuk tidak mencuci sepeda motor saat musim hujan. Motor itu seperti kucing. Sehabis dimandikan akan mendatangkan hujan.
Nah, musim hujan begini, pencuci kendaraan — semoga — bisa panen. Tapi sial bagi pemilik motor maupun mobil, prinsip memandikan kucing untuk mendatangkan hujan sering berlaku. Belum sampai rumah, kendaraan sudah kotor lagi.
Jadi, buat apa kita memandikan kendaraan? Kalau jawabannya “Orang yang takut kotor lagi pasti jarang mandi”, itu jelas klise. Begitu juga jawaban, “Biar orangnya jarang mandi yang penting kendaraannya bersih.”
Kalau sekali cuci ongkosnya Rp 10.000, ditambah tip Rp 3.000, padahal dalam seminggu mencuci empat kali, berarti keluar Rp Rp 52.000. Mahal juga ya. Mungkin melebihi jatah bensin seminggu — kalau rutenya pendek.
Kata orang wicaksana (bedakan dengan pintar), mencuci sendiri kendaraan itu banyak manfaat. Pertama: hemat. Kedua: tahu setiap sentimeter kerusakan luar (termasuk sekrup kendor). Ketiga: sekalian olahraga.
Tapi, uh, mencuci sendiri jelas melelahkan. Apalagi untuk mobil. Meskipun begitu, sudah menjadi pemandangan biasa di banyak kompleks jika malam hari banyak lelaki bersinglet atau bertelanjang dada dan perut mencuci kendaraannya.
Mereka ingin esok pagi mobil sudah bersih berkilau. Setidaknya saat keluar rumah. Padahal di tengah perjalanan, masih 10 km dari kantor, mobil dan motor sudah kotor.
Mata yang awas bisa bilang, tetap beda antara kendaraan yang kotor mendadak dengan yang kotor berabad-abad. Yang kotornya sudah keterlaluan, ditempeli tanah, kabarnya bisa buat menanam bayam.
Meskipun begitu saya masih beberapa kali menjumpai BMW kotor (kalau Mercy jarang). Mereka itu pasti orang-orang yang bahagia dengan pilihan hidupnya, tak peduli kata orang. Mereka itu, dalam urusan tertentu, tak diperhamba oleh barang. Sungguh bikin iri, tapi bukan dengki.