Di Setasiun Nggambir itu, Tuan Menhub (2)

▒ Lama baca < 1 menit

ADA DUA DUNIA DALAM GEMURUH DAN RISIKO.

Menyeberangi rel kereta api di stasiun gambir Jakarta

Saya cukup tahu diri, Tuan. Mana mungkin isi blog ini sampai kepada Tuan. Saya hanya berharap, calon pengganti dari penerus yang menggantikan para pengganti Tuan akan membacanya.

(Tentang rencana pemogokan pekerja kereta api, saya hanya bisa bilang mereka berhak menuntut kesejahteraan, tetapi konsumen juga butuh pelayanan yang genah.)

Meskipun begitu saya yakin bahwa Tuan sudah mendengar bahkan menyaksikan ini. Lintasan rel di Gambir yang menyerupai sungai kering berkerikil itu, yang dipasangi papan larangan menyeberang, adalah bukti bahwa nyawa sangat murah. Setidaknya tulang patah bisa dicari gantinya di kios terdekat. Dibayar pakai angsuran.

Menyeberangi rel kereta api di stasiun gambir Jakarta

Saya juga yakin, bahwa Tuan sudah lebih dari paham: di sana ada dua kehidupan. Di atas dan di bawah.

Hanya manol, porter, kuli angkut, kacung, penyapu, atau apalah namanya, yang menyelami kedua dunia itu. Mereka adalah orang-orang yang tak hanya berganti pakain dinas di bawah, melainkan juga beristirahat dan makan-minum di sana, tanpa banyak orang yang peduli.

Kedai di kolong peron stasiun gambir Jakarta

Mereka adalah orang-orang bergendang telinga kuat, berjantung bandel, yang menjalani hari dalam gaduh aduan roda sepur dengan rel, deru diesel, gemuruh laju lokomotif dan gerbong. Tuan tak perlu menjalani hari di kolong bibir beton.

Kedai di kolong peron stasiun gambir Jakarta

NB:

Apalah SMS kedua saya sudah sampai, Tuan Menhub? Isinya: “Semboyan 35”.

Tinggalkan Balasan