Kalkulator dan Ponsel untuk Bocah

▒ Lama baca < 1 menit

DI MANA BAGUS DAN JELEKNYA UNTUK SI KECIL?

ponsel bocah

Seorang bapak memergoki gadis kecilnya, masih SD, sedang menggunakan kalkulator pada ponselnya untuk mengerjakan PR di kamar.

“Hanya mencocokkan,” kata si kecil seraya menunjukkan kertas jawaban, yang menurutnya, adalah hasil hitungannya sendiri.

Kalkulator, dalam bentuk kalkulator biasa maupun yang melekat di peranti lain (arloji, komputer, ponsel, penggaris), adalah alat bantu yang menyenangkan.

Haruskah dilarang dan dalam hal apa kalkulator diperbolehkan? Andalah yang saya harapkan menjawab.

Tentang ponsel, karena harganya kian terjangkau, lagi pula pulsa prabayarnya juga kompetitif, maka pemilikannya kian meluas. Makin muda saja para pemegangnya.

Kini tak dianggap mewah jika seseorang punya dua atau lebih ponsel — bandingkan dengan sepuluh tahun lalu, ketika menerima panggilan selagi dalam angkot bisa membuat risih, seolah dilihati, bahkan dikuping.

Beberapa sekolah setingkat SD melarang muridnya membawa ponsel. Salah satu alasan adalah mencegah kehilangan yang biasanya membangkitkan kecurigaan terhadap pencuri.

Pada beberapa SD, larangan ini berlaku untuk, misalnya, anak-anak di bawah kelas enam. Para orangtua, selain atas nama sayang anak, tentu punya alasan sendiri untuk membelikan ponsel. Dari yang fungsional (“Biar mudah dihubungi dan menghubungi kalo nunggu jemputan”) sampai asal tidak repot (“Daripada mainin HP mamanya, setting berubah mulu”).

Berbeda dengan kalkulator, pemanfaatan ponsel menuntut biaya. Terutama jika dipakai untuk berkomunikasi. Jatah pulsa cepat habis. Baik untuk bertUkar jawaban PR maupun mengunduh ini dan itu.

Lantas sejak kapan dan bagaimana para orangtua sebaiknya memonselkan anaknya? Lagi-lagi saya berharap Andalah yang menjawab.

“Papa dulu nggak pake HP juga lancar aja tuh sekolah ama gaulnya,” kata seorang ayah. “Mama malah nggak punya telepon rumah,” sahut ibunya.

“Ya gitulah kalo lahir duluan. Misalnya dulu sudah ada HP, harganya murah, eyang pasti juga beliin Papa ama Mama,” kata si kecil.

Ini seperti seorang perwira tinggi yang menasihati putranya, “Kenapa minta mobil sendiri? Dulu Papa itu jalan kaki pergi-pulang tiga puluh kilometer buat sekolah.”

Si anak, sudah mahasiswa, menyergah, “Papa dulu kan anak petani. Aku kan anak pejabat, Pa!”

Tinggalkan Balasan