↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK MUDAH MENJADI PEMIMPIN.

kasus nurdin halid

Saya jarang baca berita sepakbola. Bahkan baca halaman olahraga pun cuma sekilias.

Mungkin saking awamnya, lantaran kurang mengikuti perkembangan, saya tersentak waktu membaca halaman Sport Kompas pagi ini. Galak. Mengarah. Tidak seperti biasanya. Bukankah para senior Kompas (dulu) mengutamakan kesantunan, dengan risiko dianggap kurang tegas, bahkan menanamkan nilai “do no harm” kepada reporter baru?

Saya tak hendak bicara soal jurnalisme. Juga tak khusus mengupas sepakbola, karena ada yang lebih berwenang (misalnya Hedi dan Pakde), bahkan mau nonton The Jak pun tertunda terus. Ini tentang Nurdin Halid.

Saya agak mengikuti perkembangan kontroversial kasusnya. Di situ saya melihat potret Indonesia kita. Ya, portraiture yang menampakkan jerawat, bisul, dan bopeng sebuah wajah.

Kalau disederhanakan persoalannya adalah antara kaum yang mengatasnamakan pragmatisme versus kaum yang merasa menjunjung nilai-nilai kehormatan.

Bagi yang sok pragmatis, organisasi harus jalan, bal-balan kudu menggelinding. Kalau Indonesia belum meratifikasi sebuah prinsip kepatutan, katakanlak kode etik badan bal-balan mondial, itu berarti boleh menghiraukan amar internasional. Kalau Indonesia sudah meratifikasi, ya cuek saja.

Bagi yang menjunjung nilai-nilai mulia, ratifikasi bukanlah masalah. Lebih penting adalah kepantasan yang sesuai jiwa kepemimpinan maupun sportivitas. Seorang pelanggar pidana tak layak memimpin wadah olahraga, apalagi olahraga popular yang menyangkut sentimen khalayak ramai maupun sepi. Itu tak ada hubungannya dengan naik-turunnya prestasi bal-balan.

Kalau masalahnya dibatasi pada soal sepakbola, bisa saja muncul debat panjang. Di negeri lain, konon, bajingan kaya pun bisa membiayai klub. Mungkin mereka bukan perampok, tapi menangguk narkodollar dengan merusak sebuah tata hukum yang tak hanya menghalalkan suap melainkan juga membunuh orang.

Di sini saya tak mengurung masalah di lapangan bola. Saya melihat sebuah Indonesia yang membingungkan.

Kalau Anda telaten, kumpulkanlah semua kliping tentang kasus korupsi. Jarang (atau tak ada?) pejabat publik yang mengundurkan diri. Mereka — dengan dukungan atasan dan korps — selalu berlindung di balik tameng prinsip legalitas. Asas praduga tak bersalah jadi azimat. Sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan tetap, seseorang tak dapat dinyatakan bersalah lalu dicopot.

Juga dari kliping, Anda akan mendapatkan contoh bahwa di negeri-negeri lain tak sedikit pejabat publik yang dengan perwira akan mengundurkan diri jika tersandung kasus hukum.

Tersandung itu kadang dalam arti belum resmi menjadi tersangka. Atau kalau pun tersangka, hanyalah sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas tindakan anak buah atau timnya, padahal dia pribadi tak memetik manfaat langsung.

Alasan pengunduran mereka biasanya adalah agar tak mengganggu kinerja tim (misalnya kabinet atau partai) dan agar tak mempersulit penyidikan.

Mereka tak bicara soal legal, tapi mempraktikkan apa yang diyakini sebagai kepatutan.

Saya tak tahu apakah di semua pelatihan kepemimpinan birokrasi di Indonesia nilai-nilai macam itu ditanamkan. Tak mudah menjadi pemimpin. Bahkan jika kita bicara keperwiraan, itu mestinya juga melekati seorang kroco — tak perlu menunggu setelah meninggalkan pangkat bintara.

Saya pernah mendengar sebuah bisikan, “Mengundurkan diri secara suka rela, padahal lingkungan tak menuntut — bahkan ingin mempertahankan — adalah sebuah kepongahan, sebuah sikap sok pahlawan yang basi.”

Basi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *