KITA BUTUH PASAR YANG NYAMAN — DAN KOMPLET LAGI MURAH.
Oh, itu. Ya, pasar modern yang dibilang Pakde Totot tempo hari. Ternyata saya sudah beberapa kali melewati, tanpa mampir, karena saya pikir cuma kompleks ruko biasa.
Bila dibandingkan dengan Pasar Pondokgede yang superjorok dan semrawut, pasar di BSD City ini jelas jauh lebih bersih. Memang tak sebersih pasar di negeri maju. Tapi pasar di Provinsi Banten ini lebih manusiawi.
Ah, lagi-lagi saya teringat seorang teman yang mengusulkan kepada tim sukes seorang kandidat dalam pilkada agar menjual tema “pasar yang bersih dan timbangan yang benar“.
Pasar ini dinamai pasar modern. Jika modern adalah seberangnya tradisional, maka kadung terlintas di benak bahwa pasar modern adalah pasar rapi dengan komputer, yang harga dagangannya tak dapat ditawar. Apa pun kata price tag, komputer kasir dan barcode scanner yang akhirnya menjadi hakim.
Tapi yang ini tidak. Tetap pasar tradisional, hanya saja tanpa becek. Seksi daging babi dipisahkan dengan jelas (Blonthank bisa bercerita trik jahat pencampuran daging di pasar). Ini bukan jenis pasar yang kekumuhannya harus dikemas sebagai foto hitam-putih supaya eksotis.
Seberapakah kita akrab dengan pasar dalam arti “pasar tradisional”? Pasar yang masuk liputan media sepanjang ada kenaikan harga, kelangkaan barang, perkelahian preman kesukuan, dan ehm… terbakar?
Pasar, dalam keluarga lama, adalah dunia luar yang dihadirkan dalam permainan anak-anak. Terutama oleh anak-anak perempuan. Pasar adalah rujukan mini anak-anak tentang kehidupan orang dewasa (kaum ibu). Pasar adalah wilayah publik yang berdomain ke domestik.
Buku-buku pelajaran lama, baik bahasa maupun berhitung (eh, matematika) selalu memuat pasar sebagai latar cerita dan sekaligus latar soal. “Ibu membeli 12 butir telur @ Rp…. Berapakah yang harus Ibu bayar?”
Tentu tiada cerita bahwa Ibu boleh membayar bulan depan, itu pun melalui (baca: oleh) kartu utama Bapak, karena keluarga sekarang belanjanya di pasar modern yang bersih tak berhakim, bahkan meski foto duty manager dipasang pun konsumen tak kenal siapa dia. Beda dengan babah, nyonyah, engkoh, enci, mas, uda, ceuceu di pasar becek yang berkemungkinan dapat undangan khitanan atau jagong manten dari pelanggan.
Sesungguhnya dalam soal tertentu zaman tak banyak berubah. Pasar tradisional ada di mana-mana, bahkan di negeri maju-makmur-resik. Di sana ada kontak, ada canda, ada tawa, tukar kabar, bahkan gosip gara-gara Bu Lemugembrot tiba-tiba wangi pakai banyak perhiasan seperti etalase berjalan.
Pasar adalah denyut kehidupan. Pasar mati kotanya mati. Pasar juga punya hukum sendiri, misalnya saja soal lokasi. Banyak kepala daerah mengabaikan ini. Apa perlu anggota DPRD dan kandidat bupati atau wali kota harus mencapai nilai tertentu SimCity versi awal, tanpa kode curang?
alaska student loan advantageloan home americandream7a loansgovernment loans student 3.2 federalforgiveness alabama loan educationalcard online florida loan accept creditinterest only loans real estate 3-yearmoney dollar hard $10000 loanloans 2.9 financing autopersonal american loans