↻ Lama baca 3 menit ↬

TAFSIR MELENCENG DALAM RENUNGAN GOMBAL.

mobil calon walikota bekasi

Saya kurang sreg dengan istilah pribumi dan nonpribumi beserta pengutubannya secara kontrer. Istilah ini — mungkin sebangsa bumiput(e)ra — bisa jadi komoditas politik yang kemriuk. Mudah dikunyah, tapi tak mengenyangkan, kalaupun terus disantap hanya akan mendatangkan seret dan dahaga.

Tadi saya mendapati mobil dari tim sukses salah calon wali kota Bekasi. Slogannya “mempersatu pribumi dan pendatang”. Inilah kekurangan saya. Mestinya saya berdialog dengan si pembawa mobil, agar paham apa yang dimaksud dengan pribumi.

Nah, karena telanjur sewenang-wenang menafsir, maka kesembronoan ini saya teruskan saja. Kesan saya (jadi bisa salah), yang dimaksud dengan pribumi adalah penduduk asli Bekasi. Asli, artinya lahir di sana, orangtuanya mungkin juga.

Adapun pendatang, ya sebangsa saya. Tidak lahir di Bekasi, mukim di wilayah itu, tapi mengais duit di Jakarta — bahkan mungkin membuang (uh, gaya!) uangnya di Jakarta, begitu pula menyekolahkan anak. Malah ada yang pelat nomor mobil dan motornya masih ikut DKI, tak setor pajak ke Bekasi. Entahlah bagaimana dengan Daus, Vavai, dan Djoko — dalam hal apa mereka asli, dalam hal apa pendatang. :D

Bisa juga pendatang adalah orang dari wilayah lain, yang bermukim dan mencari uang di Bekasi.

Bermukim tak hanya berteduh. Bisa cuma mengontrak, bisa pula membeli tanah untuk rumah tinggal dan ruko, pokoknya menyangkut ruang hidup, bahkan ketika meninggal dimakamkan di bumi Bekasi, bukan di kampung asal.

Bermukim dan kemudian bekerja di Bekasi juga berarti kompetisi dalam ruang nafkah. Jika kelewat timpang bakal ada yang terpelanting dari putaran.

Istilah pribumi, dalam konteks hasil tafsir paksa saya ini, telah dikemas sebagai entitas yang tak sama dengan pengutuban non-Cina dan (baca: versus) keturunan Cina.

Asli Bekasi dan pendatang, itu bisa menjadi peka. Beberapa tahun lalu sebuah hypermart diresmikan dan langsung menuai demo dari laskar primordial yang mengatasnamakan penduduk asli. Mereka minta jatah pekerjaan.

Salahkah tuntutan itu? Siapa pun yang merasa sebagai “orang asli” cenderung tak rela bila sejumlah hajat hidup dikuasai pendatang. Ini seperti cerita zaman dulu di sebuah kampung di Yogya. Pemuda-pemuda asli merasa tersingkir karena untuk memeriahkan tujuhbelasan pun RT lebih mengandalkan mahasiswa indekosan. Para cewek, dan orangtuanya, lebih kesengsem sama mas-mas indekosan yang kebetulan berpendidikan lebih tinggi.

Asli versus pendatang ini di beberapa daerah kadang tinggal menunggu bisul pecah, dan jadilah konflik horizontal yang berdarah. Bumbu pendidih paling dahsyat tentu saja bendera agama. Yang mulanya urusan antarpreman, tak ada urusannya dengan antariman, bisa merembet ke mana-mana.

Asli versus pendatang, apakah ini hanya masalah masyarakat transisional dunia ketiga?

Sejarah terus berjalan dan berulang. Ultranasionalis, ultrakanan, atau apalah, juga ada di negeri maju dan jadi komoditas politik. Di Australia, yang kulit putihnya pendatang, juga punya orang macam Pauline Hanson yang anti-Asia. Dalam konteks beberapa negeri kulit putih yang mengaku sekular, isu terkini adalah “bahaya Islam bawaan imigran”.

Lantas apa urusan itu semua dengan Bekasi? Sekali lagi, itu hanya tafsiran saya. Muara pikiran gombal saya adalah ini: komunikasi politik. Apa yang digerundelkan justru diangkat ke permukaan, untuk dikomunikasikan. Hanya dengan dialog orang bisa saling menerima dan mungkin membangun landasan untuk berkompromi.

Abstrak ya? Memang. Itulah tugas politisi dan orang partai, yang isinya orang-orang cerdik lagi cendekia (setidaknya salah satu dari dua kata itu), untuk mengartikulasikan apa yang laten, yang cuma jadi grenengan, dengan rumusan yang gamblang.

Tiga dasawarsa terakhir abad lalu politik lokal hanya menjadi sebuah bisik-bisik berbumbu gunjingan dan prasangka. Monolitisme ruler’s party (bukan ruling party), dengan dukungan militer, telah menabukan setiap proses komunikasi terbuka. Mantera sensitivitas SARA dan stabilitas pembangunan cukup ampuh meredam isu — setidaknya menyembunyikan debu di bawah karpet.

Pilkada(l), adalah eksperimen demokrasi yang menegangkan sekaligus menjanjikan bagi yang percaya. Tak hanya bagi Bekasi, tapi kita semua, di Indonesia, yang sedang meniti seutas tambang di atas jurang yang kadang berkabut. Kalau tak berani menyeberang, kapan kita bisa berubah, kata orang (sok) optimistik.

NB:
Ah tiba-tiba saya teringat seorang teman yang cendekia, blogger juga. Usul tema kampanye yang pernah dia tawarkan kepada sebuah tim sukses calon bupati, bukan di Bekasi, adalah “pasar yang bersih, timbangan yang benar”. Usul ditolak. Kurang menjual. Padahal dalam tafsiran saya, tema yang sesuai syariat Islam itu jelas berlaku universal. Apa kabarmu, Kawan? Masihkah kamu tenggelam dalam sastra dan filsafat? Pinjamkan sentolopmu untuk aku yang awam ini.

*) Penulis adalah seorang warga Bekasi yang suka plonga-plongo sambil melamun, makanya bisa bikin posting yang melelahkan untuk dibaca. Maklum, pengangguran. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *