MENSYUKURI DAN MENYERAP KEINDAHAN, CERITANYA.
Sial benar orang yang jendela rumahnya tidak menghadirkan panorama alam. Yang tampak hanya tembok dan tembok. Kadang malah jendela tetangga.
Nah, bagi kaum pengeluh saya punya solusi norak tapi nyeni. Gambari saja tembok di luar jendela dengan pemandangan. Ada gunung, ada sawah. Mirip gambar wajib anak sekolah. Yang penting serasa punya tetangga bentang alam.
Tapi kan kurang realistik? Namanya juga gambar, ngawur pula.
Okelah, gambar itu bisa dianggap nyeni, tapi kalau malam kan dia tetap siang terus? Gampang, jangan biarkan tembok tersoroti lampu. Juga jangan lupa tutuplah tirai jendela agar malam benar-benar gelap.
Mau bilang, “Kalau ada duit beli saja lahan di pinggir sawah, berikut sawahnya (agar kelak tak jadi kantor koramil atau posko laskar), lantas bangunlah rumah,” kok rasanya kurang sopan.
Mensyukuri yang ada, itu nasihat paling gombal. Menyerap apa pun yang tampak sebagai sebuah karya seni, itu petuah supergombal. Itu sama saja kasih ceramah ngawur bahwa estetika ada dalam benak dan hati kita, bukan semata di luar diri kita.
Bukankah tekstur tembok yang tak rata karena kecerobohan tukang dan mandor justru tampak indah saat tertimpa sinar Matahari? Tak sepanjang hari keunikan itu tampak. Bergantung pada mata dan lensa kamera, kata si skeptis.
Masalah utama, kata si pengeluh, ada duit apa nggak. Oh, uang. Apakah uang bisa membeli segalanya?
Bukan segalanya, tapi banyak hal bisa dibeli dengan uang, katanya.
“Bagaimana cara membeli uang?” tanya saya.