BOLEH PANAS, BOLEH PAKAI ES. SOTO UNIK!
Soto dading itu uenaakkk. Dengan kucuran jeruk nipis akan semakin segar. Apalagi kalau dicampuri es. Weh, ngaco ini. Kok soto dicampuri es? Namanya jadi es soto dong?
Teman saya, yang dijuluki si Engkong, tak pernah menyetujui istilah “makan soto” dan “makan bakso”. Menurutnya yang benar adalah “minum soto” dan “minum bakso”.
Alasannya, kedua hidangan itu berkuah. Sangat berkuah. Bahwa bakso itu sebetulnya gelindingan daging giling — dengan maupun tanpa kuah — bagi dia tetap soal minum, bukan makan.
Maka dengan merujuk Engkong, beberapa hari lalu saya membayangkan soto yang disajikan dingin dengan taburan es parut.
Kenapa hanya membayangkan? Niat hati sih mencoba soto dading. Tapi pelayan warung soto milik orang Semarang, bekas anggota DPR-RI, di Stasiun Kalibata, Jakarta Selatan, itu hanya tersenyum kalau kita pesan itu. Gonta-ganti pelayan yang menghampiri meja pembeli, jawabannya sama. Senyum.
Setelah senyum mereka baru bilang, “Soto dadingnya nggak ada.”
Emang kayak apa sih soto dading itu? “Nggak tahu, wong nggak ada,” kata seorang pelayan.
Kenapa soto entah berantah itu dicantumkan di dalam menu?
“Oh itu salah ketik, Pak!” jawab pramusaji lainnya. Uh, kayak blog ini saja.
Yang bikin saya penasaran, kenapa nama baru itu nggak diikuti oleh soto yang beneran yang ada? Tinggal ditambahi apa, kalau enak pasti, eh… semoga, berhasil.
Yah jadi ingat riwayat sebuah pasar swalayan. Suatu saat Oom Dick, bapaknya pereli Ricardo, berwisata ke Bali. Dia melihat papan nama luntur “Gel_el” di Gelgel. Ide pun hinggap. Dengan penyisipan huruf “a” jadilah nama untuk kumpeninya: “Gelael”.