↻ Lama baca 2 menit ↬

KITA INGIN MENJADI PENGENDALI, BAHKAN PENGUASA.

Remote controller Cambridge Audio blogombal.com

Teknologi adalah perpanjangan fungsi indera dan anggota tubuh kita. Dengan itulah, diharapkan, kita menjalani hidup lebih gampang dan enak. Sebut saja remote controler untuk TV.

Alat itu menjadikan kita malas mengangkat pantat karena pemencetan tombol akan menyelesaikan urusan. Kepada kotak ajaib ini pula, pengelola stasiun TV dan rumah produksi berharap-harap cemas. Begitu pula para juragan stasiun radio.

Remote controller untuk TV di rumah saya sudah beberapa kali ganti karena rusak. Penyebab utama ya jatuh. Lantas saya belikan pengganti di kaki lima, dan yang terakhir di toko murah meriah. Alhasil TV layar cembung kuno 21 inci (kesian ya?) itu masih bisa dikendalikan. Kalau saya boleh menyombong, TV saya sudah berwarna lho.

Saya masih mengalami pesawat TV tanpa remote controller. Tapi itu pun sebetulnya bukan soal, karena saat itu percuma juga punya TV berbanyak saluran kalau yang siaran cuma TVRI. Yah, saya bukan MTV generation, melainkan TVRI generation.

Apakah pengendali jauh itu harus nirkabel? Pada akhir 70-an, ada TV punya teman yang pengendalinya berkabel. Itu sudah bagus, karena penonton tak perlu menangani pesawat TV dalam arti harafiah.

Sekarang hitunglah berapa jumlah remote controller di rumah Anda. Tak hanya untuk TV kan?

Saya juga ingin tahu seberapa sering sang pengendali ngumpet di balik bantal atau terselip dalam celah sofa atau terselimuti koran dan tabloid. Kalau barang tak ditemukan kita nyap-nyap, merasa dunia penuh alap-alap.

Saya punya set pemutar musik rakitan biasa; satu merek, bahkan satu seri produk. CD player, tuner, dan amplifier masing-masing punya satu remote controller. Tampangnya sama. Maka bertambahlah jumlah pengendali — dan kerepotannya.

Bagaimana menangani beberapa remote controller, Yuni Jie punya resep. Misalkan ditaruh dalam kotak khusus.

Mau ditaruh di mana pun, remote controller membuktikan bahwa kita selalu ingin menjadi pengendali. Lihat saja bagaimana orang berebut menguasi alat pengendali TV.

Belasan tahun lalu, di salah satu kantor lama, seorang teman membawa remote controller dari rumah. Dia fotografer, namanya Umar “Umay” Widodo. Setiap seseorang memindahkan saluran, dalam segera tayangan kembali ke saluran semula atau malah berpindah ke saluran lain. Itulah Umay punya ulah. :D

Hampir dua puluh tahun lalu, ketika Casio mengeluarkan arloji yang merangkap remote controller, saya ingin memilikinya.

Buat apa? Mengganti saluran — kalau perlu mematikan — TV di apotek, bandara, dan tempat umum lainnya. Untunglah saya tak punya duit, sehingga niat itu tak terlaksana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *