Kaperboy? Pede Aja Lagi, Mbah!

▒ Lama baca < 1 menit

PEREDARAN KATA DAN UNGKAPAN SEMUSIM.

kaperboy mobil angot KWK pondokgede

Mobil angkot KWK itu penuh percaya diri memotong jalur, menyalip, dan memepet mobil lain di tengah sontoloyo kemacetan Pasar Pondokgede. Kaca belakangnya memampangkan identitas diri: Kaperboy.

Cover boy, atau kaperboy, rasanya sudah lama terpinggirkan. Ukuran tampang keren setiap cowok bukan lagi sebagai penghias sampul majalah remaja seperti tahun 80-an. Televisi menggantikannya mulai 90-an.

Beberapa kali, di warung dan di kantor yang dulu, saya sepintas melihat acara Tukul. Dia sering mengguraukan dirinya bertampang cover boy. Sesuatu yang jarang terdengar kemudian bergaung lagi.

Sore, sebelum memergoki si Kaperboy itu, saya mendapati seorang kakek di Terminal Bus Rawamangun, Jakarta Timur, mengenakan kaos polo yang punggungnya berbordir “Pede Aja Lagi,” — betul, ditutup oleh koma.

pede aja lagi

Saya amati, bagian lain kaos itu tak memuat nama produk maupun acara. Jadi betul-betul hanya berisi teks “Pede Aja Lagi,” itu.

pede aja lagiAlangkah cepatnya waktu berlalu. Baru beberapa tahun ungkapan yang juga dicomot untuk iklan itu sudah terasa out of date. Kalau saya menyebut ungkapan itu “basbang”, jangan-jangan istilah ini pun sudah teramat kedaluwarsa. Begitu kedaluwarsanya sehingga pendengar tak hanya tertawa tetapi juga bertanya apa arti kata itu.

Setiap masyarakat dan masa punya istilah dan ungkapan. Ada yang bertahan lama, sehingga meskipun aneh tetap ada yang memakai. Misalnya “es-te-we” yang sangat menjawa itu. Ada pula istilah belum sempat dikamuskan sudah punah. Misalnya? Nanti dulu, saya belum menemukan. Lebih baik mengetik terus saja.

Adopter kata baru dianggap lebih maju, lebih fashionable, dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Dalam beberapa kasus, kata tertentu juga mencerminkan kelas sosial. Begitu kata itu mulai dipakai kelas di bawahnya, atau oleh kelompok lain, maka kelompok pemakai pertama segera menemukan pengganti.

Lantas apa masalahnya? Tidak ada. Itulah kehidupan. Itulah bahasa. Itulah potret kita. Maka bisa saja orang bule jadi heran mendengar “ML” karena di negerinya yang berbahasa Inggris tak pernah terdengar.

Saya hanya ingin tahu adakah ahli bahasa yang mengamati dan mendokumentasikan seliweran istilah, lengkap dengan catatan latar penggunaannya.

Sosiolinguis dan psikolinguis yang tertarik soal itu, misalkan ada, sebaiknya punya blog.

Dengan blog, proses pendokumentasian menjadi lebih interaktif dan meriah — bukan lagi kegiatan menyendiri bersama kotak sepatu berisi kartotek — karena khalayak ramai* pun ikut terlibat. Khalayak ikut mengoreksi. Ikut menyumbangkan info dan entri.

Tulisan sejenis yang membuktikan tulisan kali ini hanya pengulangan basi:
+ Jablai Tata Young dapat Cupu Award
+ Melancong secara Asoy

*) Adakah khalayak sepi? Silent majority barangkali…

Tinggalkan Balasan