Serpis, Serpis, dan Serpis: Bikin Meringis

▒ Lama baca 2 menit

NAMA TENAR BUKAN JAMINAN.

service center komputer mangga dua

Saya bawa komputer kecil itu ke service center. Setelah ambil nomor dan menunggu sepuluh menit tibalah giliran saya — itu pun dengan menagih, karena nomor saya dilompati dalam pemanggilan. Setelah 29 tahu-tahu 31, kemudian 32, padahal saya 30. Alasan Mbak Pelayan, dia sudah melihat saya (yang sehari sebelumnya dia ladeni) dan mau langsung melayani saya, makanya mejanya dia kosongkan.

“Masalah Bapak apa? Bisa kami bantu?” tanya Mas Supporter setelah dipanggil oleh Mbak Pelayan. Lantas saya bla-blabla.

“Lha kalo udah tahu masalahnya kenapa Bapak bawa ke sini?” sahut si Mas sambil nyengir jerepah.

“Iya Pak. Tangani sendiri aja,” si Mbak menimpali.

“Bapak bisa mbongkar sendiri gitu kok. Nyari driver terbaru juga bisa gitu kok. Toh sama saja, sini dapetnya juga dari download,” sahut si Mas.

Saya orang awam, jadi jawaban saya gini: “Lho ini kan serpis senter. Ngapain juga saya tangani sendiri? Ngapain juga saya beli sertifikat garansi tambahan di luar harga produk? Lantas apa artinya brand dan jaringan service Anda?”

Diagnosis — terhadap barang, bukan terhadap saya — pun akhirnya selesai. “Tapi barangnya nginap, Pak. Yah minggu depan bisa diambil,” kata si Mas.

Saya agak meradang: “Halah cuma gini aja kok nginep. Ya udah, sini saya bawa pulang, saya tangani sendiri… Garansi kemarin itu main-main ya?”

“Maaf, Pak. Bukan begitu. Ditinggal aja. Tapi ya itu tadi, jadinya nggak hari ini…” kata Mbak.

“Baik saya tinggal. Tapi saya minta jaminan tahun depan selesai. Bisa nggak? Saya akan ambil tahun depannya lagi, atau tahun berikutnya. Atau tahun berikutnya lagi.”

Si Mbak senyam-senyum tapi tampak bingung. Akhirnya barang beres. Saya tenteng pulang.

Itu kejadian Jumat pekan lalu. Tadi siang saya terima telepon dari seorang wanita di kantor itu. Barang saya dengan tipe anu dan seri anu sudah beres dan boleh diambil.

“Jadi bagaimana, Pak?” si wanita menutup bla-bla-blanya yang sangat runtun, runtut, dan jelas — seperti membaca manual (atau jangan-jangan robotlah yang menelepon saya).

“Bagaimana apanya? Itu barang sudah di rumah, kapan itu langsung saya bawa pulang, nggak pake nginep. Kalo saya nakal lalu mau klaim itu barang gimana?”

“Oh maaf Pak di data kami begitu. Ternyata…”

Silakan kalau mau percaya data. Yang saya takutkan malah ini: barang saya menginap, tapi dalam data dan bukti nyata sudah ada yang mengambil.

Kantor yang aneh. Sehari sebelum Jumat saya ke sana untuk masalah yang lain, tapi dengan barang yang sama, dan ketika tiba di parkiran untuk pulang, ternyata si Mbak Pelayan mengejar saya.

“Maaf Pak. Tadi semua surat-surat yang jadi bagian kami itu masuk kardus,” katanya dengan setengah terengah.

“Lha yang masukin tadi siapa? Saya kan tinggal terima saja?”

“Iya, saya sendiri yang masukin Pak… Maklum, masih baru, Pak. Suka bingung.”

“Saya konsumen baru produk Anda. Sama-sama bingung dong. Malah saya lebih bingung daripada Anda, Mbak.”

Tinggalkan Balasan