HANYA PELENGKAP. SEPERTI PRESIDEN DAN WAKILNYA.
“Jadi, untuk mempelai berdua, sudah seharusnyalah blablabla…” kata Tuan Doyanpidato. Sepasang pengantin di pelaminan itu — dan orangtua masing-masing — pun tersenyum.
Bagaimana dengan hadirin? Asyik ngobrol sendiri. Ada yang tertawa-tawa keras. Ada yang asyik kangen-kangenan. Ada yang sibuk mencari-cari anaknya. Ada yang merayu pramusaji agar mulai menyediakan es puter karena anaknya rewel. Riuh.
Beberapa hadirin yang mencoba berlaku santun dan berusaha mendengar pidato itu hanya mendapatkan noise not voice.
Spiker bulukan. Akustik ruang yang payah. Keduanya layak jadi kambing hitam.
Tuan Doyanpidato tak peduli. Dia terus menggelontorkan wejangan. Kadang terbata diselingi batuk kecil. Sesekali diam sejenak mencoba mengingat sesuatu.
Ketika pidato selesai terdengarlah tempik sorak. Yang bertepuk tangan saling pandang dengan sebelahnya, sambil tersenyum. Lalu tebaran forum eh fora kecil kembali menemukan formasi dan topik masing-masing.
Itu sering saya jumpai dalam perhelatan nikah. Maklumlah, saya belakangan ini panen jagongan.
Baiklah, cerita saya teruskan. Lalu tibalah saat berdoa. Bisa secara Islam, bisa secara Nasrani, bisa secara lainnya — tapi dua yang pertama itu yang sering saya jumpai.
Peristiwa berulang, hanya saja tak seriuh tadi. Tak semua hadirin peduli akan doa yang dibacakan.
Boleh sih tak mengikuti doa — karena ini masalah kerelaan dan kepercayaan — tapi apa sih susahnya menghormati dengan diam sejenak. Yang terdengar malah percakapan di ponsel, “Iye, gue ngatri. Tapi kapan lu anter itu barang?”
Mungkin si penelepon sedang memesan sesuatu dari surga — atau neraka — kalau dia memang memercayai keberadaan tempat itu.
Kembali ke kambing hitam. Dua yang tadi — tata suara dan nilai akustik ruang — tampaknya tak cukup.
Secara sepihak hadirin boleh menambahkan kambing hitam bernama “ketidakmampuan pembicara untuk menaklukkan publik” dan “kekikukan seksi acara untuk menyiapkan sajian teatrikal yang layak simak”.
Selebihnya silakan Anda tambah sendiri. Yang penting hadirin tak bersalah tapi berhak menuntut ini dan itu, termasuk di antaranya hidangan lezat gratis.
Susah bener mengatur orang Indonesia, kata seseorang (saya lupa siapa). Tadi ucapan itu tadi terngiang di kepala saya, di tengah bising suasana.
Saya menatap ke depan, ke arah pelaminan. Seperti yang sudah-sudah, tampaklah backdrop pelaminan yang tidak sanggup menutupi lambang kekuasaan yang ada di setiap gedung pertemuan: foto gambar presiden dan wakilnya.
Jika malas melakukan cropping, potret kedua orang itu selalu menjadi bagian dari setiap dokumentasi pernikahan yang bernama “foto bersama”.
Big brothers are watching you, tapi susah bener ngatur orang Indonesia. Padahal bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, santun, religius, anu, anu, anu, anu, anu, dan seterusnya.
© Ilustrasi: Microsoft.