TAHU, KETUPAT, KECAMBAH, KOL, KACANG ULEK…
Memang enak. Hasutan Paman Patih Blontank via SMS, agar saya singgah sesampainya di pertigaan Blabak, Magelang, memang layak dituruti. Seisi rombongan puas. Yaitu saya, istri, dua anak, dan tiga keponakan.
Sayang porsi kupat tahu Dompleng, seberang Kantor Kelurahan Mungkid, itu kelewat banyak. Piring belum habis, perut sudah kenyang.
Juga sayang, tempatnya kurang bersih. Lebih saya sayangkan lagi, pemotongan tahunya “terlalu tahu kupat”. Lho?
Dulu orang Yogya hanya mengenal tahu guling. Salah satu yang enak adalah di seberang pabrik lama SGM.
Seperti halnya tahu campurnya orang Semarang, tahu guling Yogya menyajikan tahu dalam irisan kecil. Tahu putih tanpa kulit itu dipotong dulu sampai jadi kecil seukuran ujung kelingking lentik, baru kemudian digoreng. Setelah digoreng, irisan tahu itu menggembung seperti bantal bahkan guling.
Entah kenapa, mulai tahun 80-an penjaja tahu guling Yogya yang orang lokal mulai berkurang. Mulai masuk penjaja dari kawasan tetangga, yaitu Klaten dan Magelang. Mereka menyebut dagangannya tahu kupat, dengan penyajian tahu yang digoreng dulu baru kemudian dipotong — bukan sebaliknya.
Sekarang dari Bantul di selatan sampai Sleman di utara, orang (terutama pendatang) semakin mengenal tahu kupat ketimbang tahu guling.
Lantas bagaimana kelanjutan cerita tahu kupat Dompleng?
Penjualnya baru dasaran (buka kedai) pukul dua siang, tapi setengah jam sebelumnya kadang sudah diantre. Uniknya, kol di Dompleng itu digoreng dulu sebentar. Lebih unik lagi, kedai itu menyediakan tabel harga, seperti yang dulu dilakukan oleh pompa bensin pradigital.
Paman Patih memang ajaib dan nganyelaké. Dia wong Solo tapi paham peta jajanan Yogya maupun Sala. Betul-betul pengikut Pak Kayam.