↻ Lama baca < 1 menit ↬

KETIKA BIROKRAT KECANDUAN PENGISIAN FORMULIR.

isian dalam karcis parkir

Untuk memahami cara kerja birokrat, dan terlebih cara berpikirnya, bisa dimulai dari produk administratifnya. Misalnya karcis parkir.

Dari segi niat, boleh saja merujuk hukum. Ada batas waktu maksimal untuk “parkir insidental”. Bagaimana menghitungnya, apa boleh buat, ya terpaksa manual.

isian dalam karcis parkirBegitulah, si perancang karcis membayangkan petugas parkir akan mengisikan jam masuk dan jam keluar. Dalam praktik, tentu saja, itu tak terjadi.

Ingat, paper work itu menyebalkan dan mengkhianati prinsip alur kerja efektif dan efisien bahwa “orang buta huruf pun bisa membereskan”.

Unit pemkot yang mengelola perparkiran juga tak hirau bagaimana waktu dicatat, apalagi dievaluasi. Lebih gampang menentukan target setoran. Terserah orang lapangan bagaimana memainkan tarif.

Bagaimana jika menggunakan komputer? Bagi konsumen, pencatatan waktu parkir oleh komputer bisa menyebalkan karena miskin kompromi. Lima menit selewat dua jam pertama berarti sudah memasuki jam ketiga.

Beberapa mal mencoba melayani konsumen dengan pembayaran parkir di ujung eskalator dan lift, agar lamanya jalan kaki dan perputaran mobil yang akan keluar tak dihitung. Malah untuk keamanan, beberapa pengelola parkir memasang kamera digital untuk mencocokkan nomor dan rupa mobil.

Di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, beberapa kali saya memergoki permainan. Petugas loket pintu keluar mengisikan jam keluar mobil secara manual di komputernya.

karcis parkir solo

Apa pun “sistemnya” (orang Indonesia itu gandrung kata “sistem”), semuanya bisa diakali. Salah satu bentuk pengakalan adalah pengabaian. Seperti isian pada karcis parkir Surakarta itu.

Pertanyaan kita adalah: kenapa disediakan isian dalam lembar karcis?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *