TUGAS ARSITEK DAN DESAINER INTERIOR ADALAH MEMBUAT ORANG TAK BERTANYA.
“Bayarnya di kasir enam, Pak,” kata sang pramuniaga. Seperti sering terjadi, saya pun bertanya sambil tolah-toleh, “Di mana, Mbak?”
Saya sering kerepotan mencari letak meja kasir toserba besar. Ya, mata saya memang agak rabun. Ya, ya, saya juga agak buta huruf.
Maka saya pun sering menyumpahi penata interior dan peraga dagangan — apalagi saat toko ramai menghias diri dalam rangka ini dan itu. Terlalu banyak yang menjejali mata, dari tulisan “discount up to 99,9%” (tapi “up to”-nya kecil banget) sampai “win new Honda CRV“. Semuanya menggelantungi plafon. Itu masih ditambah tebaran poster raksasa hasil cetak digital. Signage untuk “exit” dan “escalator”, dan tentu juga “cashier”, pun tersarukan.
Akibatnya saya pun semakin menjadi orang udik. Cara paling aman, dan cepat, bagi saya adalah bertanya. Lha iyalah, pramuniaga dan satpamwan toko kan digaji (antara lain) untuk menjawab.
Bagaimana dengan mal atau plazanya? Untuk pusat perbelanjaan berbentuk kotak dan biasa saja saya sering kehilangan orientasi, apalagi jika bentuknya bundar atau mirip tapal kuda. Saya sering bingung.
Mal Artha Gading di Jakarta Utara, yang membagi malnya menjadi sektor tematik, selalu bikin saya tersesat. Masuk dari kawasan India, ketika akan ke parkiran malah nyasar ke kawasan Cina. Untuk mencari eskalator saya selalu menanya satpamwan — begitu pula untuk menemukan “denah you are here“. Saya memang ndesani.
Adapun Plaza Semanggi di Jakarta Pusat, yang bisa membuat pengunjungnya harus gonta-ganti lift untuk berpindah lantai (terutama dari parkiran), itu selalu memusingkan saya. Belum lagi lantai bawahnya yang berbentuk lingkaran. Tahu-tahu saya melewati kios pernak-pernik yang itu lagi.
Dengan tata ruang yang mengacaukan orientasi, pintu akses di Semanggi itu kayaknya terlalu sedikit. Masa sih untuk mencapai ATM kita harus menyeberangi kafe dan toko? Yang punya kafe dan toko CD bisa kesal.
Memang, lagi-lagi, saya bisa menanya satpamwan dan kadang petugas cleaning service. Tapi bagi saya, arsitektur dan tata interior yang bagus secara estetis maupun fungsional itu tak mengharuskan orang bertanya.
Mestinya cukup dari signage dan penanda visual sejumlah titik, pengunjung tak akan tersesat. Ketika terjadi kebakaran atau gempa mereka akan segera tahu jalan terpendek untuk menyelamatkan diri.
Dua hari lalu, setelah menanya penjaga toko alat listrik di Plaza Semanggi, saya menemukan lokasi ATM. Tapi serampung ambil duit, saya tak dapat melewati pintu untuk jalan pintas. Cafe O-la-la mematikan pintu itu dengan alasan rusak.
Kalau rusak betulan, ya I’m sorry. Kalau “rusak-rusakan”, ya tetap I’m sorry. Pintu tambahan hanya mengundang korban arsitektur mal untuk menyeberangi ruang kafe tanpa mengudap.