↻ Lama baca 2 menit ↬

BUKAN YANG TERBAIK, TAPI YANG BERSEDIA.

pemilihan ketua rt

Saya pakai baju batik lengan pendek. Saya merasa necis. Maklum ini jarang saya lakukan. Bahwa hasilnya, dalam istilah jadul, adalah pria simpatik, itu nasib. Saya sih lebih merasa berseragam rumah makan hidangan Nusantara, dari Sari Kuring sampai Mbah Jingkrak.

Tak soal. Itu harus saya lakukan untuk menghormati acara malam tadi: pemilihan ketua RT. Setiap pasangan hadir lengkap, kecuali yang duda atau janda.

Singkat kata, ketua baru RT pun terpilih, tertetapkan, dan terlantik. Pak RW kasih wejangan. Intinya: orang yang mau jadi ketua RT itu hebat karena kebanyakan orang ogah.

Haha, seleksi pemimpin pada tingkat paling lokal adalah berdasarkan kesediaan dan ridha untuk dipaksa (lalu digerundeli warga), bukan kualitas dan hasrat si kandidat. Kalau dibuka pendaftaran calon, tak ada yang mengajukan diri. Bayangkan jika ini terjadi pada pemilihan kepala daerah dan presiden.

Ketika saya masih mengungsi ke rumah kontrakan di RT sebelah, ketua RT terpilih (yang tak menghadiri rapat) tak berani pulang ke rumah, sehingga pemilihan pun digelar ulang di bawah lampu jalanan, di pertigaan depan kontrakan saya.

Menjadi pengurus RT/RW berarti menambahi pekerjaan untuk diri sendiri. Beberapa bapak gemar dengan dalih, “Pulangnya aja malam, bahkan pagi; nggak layak dong kita jadi ketua RT. Entar nggak bisa melayani warga.” Sungguh dalih yang layak adopsi. :D

Bu Tetangga mengancam, kalau suaminya terpilih jadi ketua RT, dia akan pulang ke rumah orangtuanya. Bu Tetinggi bilang, kalau suaminya terpilih jadi ketua RT, dia bukanlah Bu RT. Orang lain menafsirkan, dia akan mempersilakan suaminya ambil wanita lain yang bersedia jadi Bu RT.

Bagi saya, ketua RT mestinya tidak harus pria. Kaum nyonya pun boleh dan bisa. Atas nama keadilan dan pembalasan terhadap patriarki, maka suami dari Bu RT boleh dijuluki Pak RT. Bila perlu suami dari Bu Ngatinah kita panggil Pak Ngatinah.

Baiklah, mungkin benar bahwa lembaga RT/RW (dulu RK, rukun kampung) adalah warisan fasis penjajahan Jepang. Sebagai lembaga perpanjangan birokrasi yang tak bergaji, tapi punya sisi pelayanan publik, RT/RW bisa dihapus asalkan kantor kelurahan bekerja efisien dan efektif. Dengan sistem informasi yang andal, Pak Lurah tak perlu berkilah, “Yang paling kenal warganya kan Pak RT dan Pak RW. Kami cuma meneguhkan.”

Bagaimana dengan forum warga, untuk menyelesaikan soal sampah, keamanan, sampai kebisingan?

Karena pemerintah dan negara tak ma(mp)u menangani, sementara tak semua warga perumahan sanggup membayar biro swasta untuk menyelesaikan itu semua, model partisipatoris memang tak terelakkan.

Sebetulnya sampah dan got mampet itu urusan dinas kebersihan pemda. Keamanan, itu tanggung jawab polisi. Kebisingan, itu bisa jadi urusan polisi dan giliran selanjutnya adalah lembaga peradilan. Tapi cobalah sodorkan usulan ini ke forum RT/RW apalagi Pak Lurah, bisa-bisa Anda dicibir, dicap kemaki dan tak tahu diri, “Eling Mas, sampe(y)an itu hidup di mana?”

Bapak saya dulu ketua RT di lingkungan santri, beberapa krèstên, dan abangan. Saya, ketika kecil, diajak ke acara selamatan, dan pulangnya menenteng “besek hamin-hamin” berisi ingkung.

Urusan bapak saya sebagai Pak RT adalah dari mengantarkan aparat keamanan ke rumah buron pada dini hari sampai menengahi cekcok keluarga pada malam sepi. Pernah rumah kami menampung inap seorang ibu yang diamuk mbakyu iparnya. Ribet bener.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *