↻ Lama baca 2 menit ↬

SUDAH KADUNG, SUSAH DICABUT — KECUALI TERJADI PENGABAIAN SERENTAK.

harpitnas 2007

Tak semua kantor menetapkan hari ini sebagai cuti bersama. Salah satu penyebab, cuti paksa itu malah mengganggu proses produksi dan kenyamanan bekerja. Misalnya harus memajukan sejumlah tenggat pekerjaan.

Bagi saya itu bagus. Yang mau ambil cuti silakan. Yang mau bekerja ya jangan dicutikan. Yang mau membolos ya sumangga, asal siap menerima konsekuensi.

Legalisasi harpitnas — hari-hari kejepit nasional — dengan SKB tiga menteri itulah pangkal soalnya. Kesan saya terhadap SKB itu, ketika pertama kali diberlakukan beberapa tahun lalu, adalah pemanjangan hari libur resmi Lebaran dan tanggal-tanggal merah lainnya di kalangan aparatchik.

Karena produk hukum sebaiknya juga adaptif terhadap “dinamika daripada masyarakat”, maka pembolosan atas nama harpitnas pun dilegalkan. Hanya saja caranya ganjil: orang dipaksa cuti melalui peliburan. Cuti, sebagai hak, menjadi tak penting atas nama kepentingan nasional.

Pemerintah tak berani tegas. Sejak dulu setiap tahun hanya mengeluarkan ultimatum seputar libur hari raya. Pegawai yang memperpanjang liburannya akan dikenai sanksi.

Ultimatum tak mempan. Yang bertugas memberi dan terlebih lagi melaksanakan ultimatum juga dihinggapi masalah yang sama dengan yang terultimatum: repot mengatur waktu seputar hari raya.

Sebetulnya ada solusi sederhana. Tambahi saja hari libur resminya. Selebihnya ya ambil cuti. Di luar cuti dianggap membolos.

Buat saya sederhana, tapi buat pemerintah dan employers, ini soal pelik. Sudah ada rumus bahwa dalam setahun setiap pegawai harus bekerja berapa ratus hari. Menambah hari libur, tanpa mengurangi salah satu komponen upah, sama saja menambah masalah.

Akhirnya muncullah jalan tengah yang tak sepenuhnya di tengah. Orang dipaksa cuti. Yang tak merayakan Natal mengeluh, “Saya nggak ngerayain, dapet kuenya juga nggak, kok jatah cuti saya kepotong.”

Masih mendingan kalau kantornya saban tahun memberikan THR Lebaran dan THR Natal. Syukur kalau ditambah THR Imlek dan lainnya.

Bagaimana kalau SKB ini tak diperbarui tahun depan dan berikutnya? Saya menduga bakal banyak menuai protes (plus pertanyaan kesal: “Masalah elu ape?”) dan bisa-bisa membawa muatan isu sensitif.

Di luar isu sensitif tentu saja dalih yang superasyik: “Bukan salah kita dong kalo tanggal merah jatuh hari Minggu. Makanya Senen kudu prei.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *