AKHIRNYA KITA TERBIASA, BAHKAN (MUNGKIN) SUKA.
“Kamar hitam itu buat orang tetanus,” kata budhe saya, seorang perawat, ketika dulu saya semasa SMP ingin mengecat kamar dengan warna gelap.
Untuk sekian lama kadung tertanamkan bahwa hitam itu muram, maut, setani, tak cocok untuk tema ruang. Akibatnya jarang sekali anak-anak sekolah menggambar ruang bercat hitam. Lagi pula mewarnainya, tanpa mengaburkan obyek lain, kan susah. Bu Itbo pasti bisa bercerita tentang kamar merah toko hitam. :D
Kemudian buku-buku impor desain interior mengubah pandangan itu. Ketika mal bertumbuhan pada medio 90-an, beberapa toko dan kedai berani mengadopsi warna hitam — tapi tak total.
Biasanya warna hitam, selain untuk lantai, dipakai untuk permukaan dak atas sebagai penyaru saluran utilities, dari AC sampai sprinkler. Lampu spot dan downlight akan menambah penyaruan.
Beberapa kantor — tentu swasta, bukan pemerintah — juga berani berhitam-hitam. Biasanya itu kantor yang berurusan dengan “kreativitas” — dari media, biro iklan, galeri, distro, sampai importir alat fotografi.
Akhirnya kita terbiasa dengan ruang hitam. Sama seperti kita terbiasa dengan desain grafis berlatar hitam untuk produk yang classy, kita bisa menerima toko CD yang hitam seperti di E-X, Jakarta. Jauh hari sebelumnya kita terbiasa dengan mobil dan motor yang hitam. Lebih jauh sebelumnya kita akrab dengan tatanan ikonografis pentas yang berlatar hitam supaya Blontank girang. Desain undangan pengantin yang bertema hitam, 15 tahun lalu akan dianggap aneh.
Bagaimana dengan Blítzmegaplex di Grand Indonesia, Jakarta, wilayah kekuasaan Bahtiar itu? Hitam-hitamnya berani. Tapi setiap kali pipis di peturasannya (emang sepur rakyat?), saya membayangkan cetakan foto sinar-X atawa rontgen. Bayangkan jika yang tampak adalah rangka manusia.