BIOGRAFI SEDERHANA YANG DIANIAYA OLEH JUDUL.
Beberapa praja STPDN/IPDN punya skandal seks dengan ibu rumah tangga di luar asrama.
Dosen cantik di kampus itu ikut membintangi video porno produksi internal.
Seorang pria dosen menyebarkan foto hot dirinya — sedang bercinta dengan seorang wanita sejawat — untuk menyanggah sangkaan pemerkosaan. Terus….?
Ada praja, pecandu narkoba sejak SMA, cuma mengikuti 30 persen perkuliahan, karena dia lebih banyak berada di Amerika Serikat. Karena dia adik pejabat tinggi, ya tetap diluluskan.
Adapun YN, dosen yang anggota panitia penerimaan praja, punya reputasi enam kali kawin-cerai, dan pernah mencambuki semua istrinya dengan kopel.
Uh, seru dong? Ya. Kalau kasusnya cuma dicomot sepotong demi sepotong, seperti yang saya lakukan, maka jadi sensasional. Sex, drugs, crime, rock n’ roll…
Tapi itulah sepenggal cerita yang saya dapat dari buku bertajuk hebat: IPDN Undercover. Lho, apanya yang undercover? Bukannya Inu orang dalam, dan tak pernah menyamar?
Rupanya ini strategi dagang penerbit. Judulnya hebat, padahal buku ini lebih berisi biografi seorang Inu Kencana Syafiie, dosen IPDN yang mengabarkan kebobrokan kampusnya kepada dunia luar.
Tentang kekerasan, pembunuhan, dan penyimpangan di STPDN (sebelum berganti jadi IPDN), itu ada di bab G (“Membongkar Kasus STPDN”, hal 183-253). Nah, 11 halaman awal bab berisi apa itu IPDN. Kasus terbaru, meninggalnya Cliff Muntu, tak terbahas. Inu tak ada waktu untuk menuliskannya sampai tuntas, sementara penerbit dipepet oleh tenggat.
Maka dalam membaca buku ini sebaiknya kita tabah, tak terpaku pada judul. Yang penting kita dapat tambahan gambaran tentang sosok Inu. Ya, Inu yang mengaku nyentrik, tapi kena batunya ketika bertemu Mr Joger yang ternyata lebih nyentrik.
Siapakah Inu? Dia seorang lelaki pemberani. Karena lamaran untuk kekasih ditolak, akibat perbedaan agama (Inu muslim, Indah Prasetiati Kristen), maka kawin larilah dia. Baru 20 tahun kemudian Inu bertemu mertuanya.
Inu, yang pernah memimpin kelompok teater, dalam buku ini beberapa kali memuji kecantikan istrinya. Kenangannya ketika diwawancarai oleh Desy Ratnasari adalah….
Dia ber-make-up melulu. Saya rasa istri saya tetap lebih cantik.
(hal. 233).
Di sebuah kota Inu bertemu dosen muda tinggi cantik. Maka inilah yang dia ceritakan…
Dia cantik, tetapi istri saya yang langsing lebih cantik. Kalau saja istri saya belikan jas dan celana panjang yang mahal seperti dosen ini, pasti dia mengalahkan bintang film. Sayang, istri saya tidak senang memakai pakaian sexy, kecuali saya paksakan untuk saya lihat sendiri. (hal. 262)
Ada lagi yang mengundang senyum. Berdua di sebuah hotel, atas biaya pengundang, Inu mengenang…
Istri saya minta memakai baju yang dipakai Sophia Loren dalam film Yesterday, Today, and Tomorrow. Lipstik Revlon membuat dirinya seperti berumur muda. Bahkan, di atas empat puulh tahun seperti ini… Kami tenggelam dalam nuansa cinta yang diiringi lagu The Power of Love. (hal. 222).
Inu yang human — sering bokek tak mampu beli pulsa, bepergian naik angkot — bisa tampil segar di buku ini, dan mengundang suit-suittt…. Kegarangannya, dan keteguhannya, seolah tertepikan.
Tentang hujan publisitas yang mengguyurnya pada 2003, saat kematian praja Wahyu Hidayat, Inu bilang…
Foto saya terpampang di mana-mana. Ada yang culun ada pula yang aneh. Mustinya, yang mereka pasang foto terbaik saya. (hal. 233)
Sungguh sebuah pengakuan jujur dalam balutan humor — atau jangan-jangan dia tak bermaksud melucu. Tapi soal citra diri, wajar saja jika setiap orang ingin bagus, kan?
Suatu malam si bokek yang tak bermobil, tak berarloji, yang tinggal di rumah dinas ukuran dua kamar, itu merenung…
Perempuan yang saya nikahi itu tertidur nyenyak. Tidak pernah dia menuntut lebih dalam pernikahan ini…. (hal. 254)
Kekurangan utama buku ini ada pada judul dan desain sampul yang keras, yang terlalu menjanjikan. Sayang. Maka foto ilustrasi “resensi” ini pun mengikuti — padahal pembunuhan di kampus itu tak melibatkan pisau. Biar segendang sepenarian.:D