↻ Lama baca 2 menit ↬

MEREKA PERNAH KITA ANGGAP DAYAK.

indian ngamen di jakarta

Saya melihat mereka pertama kali tahun lalu di Mal Artha Gading (MAG). Dua orang Indian Amerika, dengan pakaian kebangsaannya, memainkan gitar dan seruling (beberapa jenis, bergantian), dengan iringan MIDI dari laptop yang disambungkan ke sistem suara. Saya beli salah satu CD yang mereka jajakan. Kuciwa juga ternyata tak senikmat yang live.

Seterusnya setiap kali ke MAG, Jakarta Utara, saya sering melihat mereka. Setelah itu saya ke Shimbala, toko Buddhis, yang materinya antara lain dari Tibet.

Dengan bantuan juragan toko saya mencoba merasakan getar pengantar keheningan dari genta, canang, dan rebana berisi pasir yang bisa melemparkan kita ke suasana meditasi tepi pantai. Dengan pongah dan ngawur saya berkesimpulan, “Inilah pesona world music.”

Tempo hari saya ke Senayan City. Seruling maut itu terdengar lagi. Sempat terbayang andaikan mereka bermain bareng Mas Bambang Bujel, teman sarapan saya di warteg itu.

Di Senayan, si Indian yang bernama Charlie Eagle itu bermain sendiri. Tapi sudah dia punya manajer, orang Indonesia, namanya Herna Sutana (0816 1951 362).

Dari kartu namanya saya tahu, “Charlie Eagle & Native Spirit Co.” itu dari Ekuador. Sebelumnya, karena tak mengenal ragam busana Indian, saya menduga mereka dari Amerika (Serikat).

Jika mendengar tentang Indian dari Amerika Selatan, maka ingatan naif saya akan melayang ke Inca, Aztec, dan Maya — yang pokoknya berbeda dari Indian di film koboi.

Indian? Nama Indian saja bermula dari kesalahkaprahan Columbus dalam mengenali “indigenous peoples of the Americas“.

Semasa SMA, saya membayangkan pelajaran sejarah akan diganti begini: “Columbus ditemukan (baca: dipergoki) oleh penduduk pribumi Amerika pada tahun…”

Begitu pula untuk James Cook, “yang ditemukan oleh orang Aborigin pada tahun sekian, oleh orang Maori pada tahun… (menyusul Abel Tasman)…”

Saat itu, dengan kebegoan saya, terpetakan di benak begini: bangsa yang kuat, dan mengenal aksara, boleh memegang kendali sejarah; biarpun nyasar atau mampir boleh mengaku diri sebagai penjelajah penemu tuan rumah — bahkan bila perlu menjajah.

Jangan-jangan itu seperti perasaan blogger ketika “menemukan” sebuah blog menarik yang tak gatal mempromosikan diri. :D :P

Tentang Indian, saya menduga itu masuk ke benak khalayak Indonesia via serial Winnetou, komik koboi, dan film koboi. Ada masa ketika desain bergambar kepala orang Indian dari suku tertentu bertebaran sebagai stiker dan poster. Bahkan stasiun radio pun mencomotnya, dan jadilah Geronimo di Yogya. Sioux dan Apache jadi grafiti.

Adapun pencomotan nama Indian untuk produk otomotif, dan perniknya, silakan Anda sensus sendiri. Indian adalah kejantanan, kepahlawanan, perlawanan…

Bagaimana dengan “wong kampung”? Inilah dunia kanak-kanak: menyebut Indian sebagai (maaf) “Dayak” — baik saat menonton film di TV (terutama Rin Tin Tin) maupun dalam perang-perangan.

Entah siapa yang menanamkan racun kepicikan itu, sehingga pada suatu masa, di sebagian orang Jawa, “dayak” ditempatkan secara pejoratif. Ada istilah “ndayak-ndayakan” untuk sebuah pesta meriah. Srimulat era Gepeng, tahun 80-an, pernah kena batunya, diprotes karena melecehkan Dayak dalam siaran TVRI.

Kini, ketika informasi berlimpah (tapi belum tentu merata), adakah pengenalan kita terhadap suku dan bangsa lain — atau kelompok masyarakat apa pun yang berbeda — sudah menjadi lebih maju?

Paragraf-paragraf saya di atas menunjukkan kedangkalan pemahaman. Tapi saya bisa menggaransi satu hal. Apa?

Kita tak terima kalau orang lain salah memahami kita, sekaligus kita sering abai bahwa orang lain juga berhak merasakan kekesalan yang sama (bahkan lebih).

Lho, kok posting ini melenceng, bahkan berubah jadi ceramah? Nggak asyik nih!

Maaf. Telanjur terketik.

indian ngamen di jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *