MENGARANG CERITA, MENGARANG LAPORAN.
“… tetapi ibu saya kata dia pernah tidur dengan tiga orang lelaki di hotel di mana dengan itu sah bahawa saya ini anak luar nikah…”
Coretan tangan itu bagian dari tiga gambar yang saya temukan barusan ketika saya membersihkan hard disk.
Saya lupa dari mana asalnya. Saya tak tahu hak cipta gambar maupun karya tulis itu punya siapa (dari Malaysia?). Yang pasti saya sempat teringat cerpen Seno Gumira Ajidarma Pelajaran Mengarang.
Mengarang. Cuma mereka-reka cerita. Ada yang bilang itu mudah. Waktu di SD, inilah tugas yang saya sukai, tapi sayang dia seperti penilik sekolah dan penjaja barang unik: datang tanpa jadwal pasti, pokoknya jarang.
Ada yang bilang mengarang itu menyebalkan. Teman sebangku saya jadi stres. Begitu pula yang di depan, kanan, kiri, maupun belakang bangku saya.
Mau karangan bebas, mau karangan bertopik dari guru, kurva nilai saya ya seperti ekualiser nada tengah: antara enam dan tujuh.
Tak soal bagi saya. Yang penting bisa menulis semau saya. Semakin saya girang, karena boleh menulis bebas — atau malah mengharuskan diri untuk bebas padahal Bu Guru sudah tentukan topik “liburan” — semakin rendah nilai saya. Pernah mendapat lima. Karangan di luar penugasan, misalnya guru dikejar kambing, dianggap tak kreatif.
Mengarang. Ngarang. Tak bertolak dari fakta. Jika menyangkut tuduhan dan kesaksian maka tak ada pujian. “Wooo enak aja ngarang!” begitu tanggapannya. Lain halnya jika itu ditulis oleh sastrawan. Pernah juga sih pemenang Pulitzer ternyata mengarang laporan jurnalistiknya.
Di sisi lain, reserse polisi kadang merasa mendapatkan mainan jika menghadapi pelapor maupun saksi yang mengarang cerita. Yang pernah saya lihat di ruang interogasi, seorang bintara mengeluarkan pistol untuk mengembalikan alur cerita si tersangka.
Si tersangka penodong itu bercerita punya luka lama, bekas tembusan pelor, yang tercipta dari peluru yang memantul dari batu, sebelum kena batu sudah membentur tembok, sebelum membentur tembok sudah mengenai tiang besi. Sungguh seperti komik Lucky Luke.
Di mana bekas luka lama itu?
Si tersangka berdiri, membelakangi meja interogasi, lalu melorotkan celananya yang sudah terpotong tinggal sedengkul, kemudian membungkuk dalam-dalam, dan menunjukkan pantatnya kepada Pak Polisi.
Dini hari yang gerah itu, 15 tahun lalu, di Polsek Tanjungduren, Jakarta Barat, mesin tik interogator sudah diam sejak lima menit sebelumnya. Kemudian pistol menggantikannya.
Yang saya ceritakan barusan adalah kesaksian sumir. Mungkin berbau karangan. Sejak saya SD para guru saya, salah satunya adalah Bu Murni, menyebut tugas untuk menulis cerita — termasuk cerita nyata, semisal melaporkan sepeda ditabrak Gaz tentara — sebagai “mengarang”.
Jadi, anggap saja coretan di buku tulis yang terfoto itu cuma mengarang. Toh keputusan penting pemerintah juga bisa bertolak dari karangan yang diyakini sebagai data sahih.
Bagaimana belajar mengarang, bertanyalah kepada Yayan Sopyan. Dia punya sekolah penulisan.