Palu Arit bersama yang Imyut dan yang Lutyu…

▒ Lama baca 3 menit

DUNIA SIMBOL MEMANG BISA PELIK — DAN PEKA.

album mini cheSedianya barang bergambar Che Guevara ini akan saya sumbangkan untuk hadiah koran2an — blog festival desain cengengesan yang belum jelas apa dan bagaimananya itu. Tapi, uh, setelah label harga dilepas, muncullah gambar palu arit dibingkai bintang pada plastik yang mewadahi album mini 40 mm x 54 mm ini.

Ahad malam itu, karena gamang, saya meng-SMS sobat yang terbiasa cengengesan tapi di saat serius bisa bijaksana. Baru kemarin pagi dia menjawab: palu arit masih sensitif.

Bahaya dan cengengesan

Sebagian dari kita masih menganggap simbol itu sangat mengganggu bahkan mengancam. Penampilan lambang itu sama saja penghidupan kembali sesuatu yang oleh banyak pihak diyakini “laten“.

Sebagian lagi cuma menanggapnya simbol basi nan eksotis, buat gegayaan sekaligus lucu-lucuan. Sama seperti tahun 90-an, saat orang-orang memburu arloji made in USSR di Pasar Ular, Jakarta Utara, untuk koleksi. Wimar Witoelar pernah menulis soal jam ngaret itu, yang didapat di Moskwa bukan Plumpang, saat abangnya, Kang Rachmat, jadi dubes di sana.

Jika kita mencoba berjarak, inilah penyederhanaan petanya: situasi kontrer, saling berlawanan seperti dua kutub.

Mereka yang menganggapnya negatif punya alasan berdasarkan pengalaman maupun persepsinya. Setiap kemunculan atribut komunis, atau ngomunis, dalam cuaca apa pun adalah awal bahaya besar. Coba baca berita ini.

Di sisi lain ada sekelompok orang yang menganggap komunisme cuma masa lalu yang bangkrut dan tak bergigi sehingga lambang itu boleh saja dipakai untuk fun. Padahal untuk diatur oleh komunis pun mereka takkan sudi. Cuma humor kok diseriusi, begitu kira-kira (Aboe dan Abe bisa bercerita). Tapi bagi petinggi militer, ini bukan soal dagelan.

Hitler, bokep, salib…

Jika menyangkut lambang, maka masalahnya bukan semata aspek visual (juga musikal jika menyangkut lagu, dan semantik jika menyangkut istilah), tapi lebih luas: keyakinan, pandangan tentang kehidupan, perumusan sejarah, dan harapan akan masa kelak yang lebih baik.

Meskipun begitu ada lho bentuk lain yang lebih “lunak” dari penghidupan kembali simbol, dan tak dianggap membahayakan. Misalnya badge atau pin yang mirip Nazi (atau Neo-Nazi), yang tersedia di beberapa distro dan lapak kaki lima.

Sebagian pemakai atribut Nazi itu memperlakukannya sebatas untuk fashion tanpa belitan ideologis. Pernah terlihat anak-anak punk di Pondokgede, pinggiran Jakarta, mengenakannya. Tapi ketika di Inggris anak Pangeran Charles mengenakannya dalam pesta, urusannya jadi (agak) serius. Bedanya, kalau punkers Jatirahayu, ya di Pondokgede itu, jadi imigran di Jerman pada awal 90-an mungkin (kalau sial) bisa diserang Neo-Nazi yang rasis.

Tentu, tak berarti palu arit itu secara ideologis sama dengan swastika ala Hitler. Lagi pula, menurut asal-usul, swastika tak ada urusannya dengan fasisme maupun rasisme.

waduhhh...

Bagaimana dengan simbol lain? Sebut saja salib. Umum diketahui, dalam perkembangan zaman simbol palang itu identik dengan Nasrani. Tapi hari ini, aktris dan model porno Jepang, yang masyarakatnya tak berlatar budaya Kristen, pun mengenakannya semata sebagai aksesoris.

Apakah aksi mereka di depan kamera itu berarti sebuah praktik “kristenisasi”? Masa iya ada evangelisasi sengawur itu.

Mao, Che, Billboard, dan JPS

Tentang simbol, memang bisa rumit, bisa sederhana. Hal yang mengerikan bagi pihak tertentu bisa direduksi menjadi sekadar eksotisisme.

cafe maoKafe bertema Mao (mungkin Lusi bisa bercerita), yang jelas kapitalis, hanya meminjam ikon Pak Ketua untuk tema visual. Dagangan bergambar Che tak sedikit yang cuma mengejar uang dengan menjual citra keren, heroik, dan sejenisnya. Untung foto itu tak dipakai untuk promo air api — suatu hal yang tak ditoleransi oleh Alberto Korda, si pemotret Che. Tapi Andy Warhol dapat duit dari potret Che. :)

Urusan pemakai atribut kadang memang tak harus nyambung dengan si empunya atau penguasa lambang. Pada 1984, beberapa anak SMA di Tepus Wetan dan Kemadu, dua desa di Kutoarjo, Purworejo, Jawa Tengah, mencoreti baju sekolahnya dengan logotype “Billboard” tanpa tahu Billboard sebagai nama majalah asing mapun merek kaset “bajakan resmi”. Pokoke nggemenu (belagu, istilah Kutoarjo).

Hal serupa berlaku pada sopir-sopir Colt Ambarawa – Banyubiru – Salatiga tahun 70-an yang memasang stiker logo “JPS” tanpa pernah sekalipun mengisap rokok John Player’s Special. Sing penting nggaya.

Kagak nyambung

Mungkin saja bakal muncul sanggahan, “Beda dong lambang palu arit dengan merek dagang — apalagi salib! Orang buta huruf pun tahu palu arit itu kuminis… Padahal kuminis itu bla blabla…”

Ya, ya, ya. Saya juga ogah diperintah kuminis. Ndak enak. Emoh. Pahit. Buehh! Ndak bebas.

Lantas nemu di mana ini barang? Lha barang yang tinggal satu ini terjajakan di rak yang sama dengan pernik lain untuk cewek — dari sisir, kantong ponsel, penjepit rambut, sampai kotak pensil yang serba-fancy — pokoknya jenis barang yang akan mengundang konsumennya bilang, “Ih lutyuuuuuuuuuuuuuuu… Mau dong!”

Bener-bener kagak nyambung. Tapi akan jadi masalah ketika “yang lutyuuuu” dan “wah… serius nih!” dihubung-hubungkan.

Apa boleh bikin, kita memang hidup di tengah perlintasan lambang, dan masing-masing dari kita pun punya tafsir sendiri terhadap setiap lambang. Setiap lambang pada mulanya memang dibuat atau disepakati untuk keperluan tafsir tunggal. Termasuk tafsir untuk atau ketika sedang bersengketa.

NB:
Seusai menulis ini saya baru sadar satu hal. Kalau kertas label dibuang maka urusan selesai. Sudah kadung nulis, je. Gombal magombal-gombal!

Tinggalkan Balasan