Dari Mana Datangnya Kekerasan?

▒ Lama baca 2 menit

ANAK DISEKOLAHKAN UNTUK DIBUNUH TEMANNYA.

SaDiS ClubAda yang masih percaya bahwa ketegaran bisa dibentuk melalui penyiksaan.

Ada yang masih yakin bahwa membuat orang lain menderita adalah jalan luhur menuju sebuah korps tangguh.

Cacat raga dan jiwa, bahkan hilang nyawa, hanyalah ekses belaka, itu lebih tersebab oleh kelemahan orang tertentu.

Tak ada yang namanya korban. Yang ada hanyalah orang-orang lemah yang layak kalah. Orang-orang yang tak siap menjalani laku disiplin sesuai kemauan kelompok. Orang-orang malang. Orang-orang sial. Layak disingkirkan.

Di rumah bui itu berkemungkinan terjadi. Dalam gerombolan begal bengis itu bisa terlaksana tanpa tangis. Di hutan rimba apalagi.

Tak mungkin itu terjadi di lembaga pendidikan mana pun, termasuk sekolah dinas milik instansi pemerintah — sekolah untuk mencetak pelayan masyarakat yang biaya pendidikannya ditanggung oleh rakyat. Tak mungkin itu terjadi. Tak mungkin.

Orang terdidik, calon pelayan masyarakat, tak menjadikan kekerasan sebagai untaian rantai tanpa sudah. Membalas luka kepada pendatang baru, atas nama inisiasi, karena tak berani membalas seniornya, adalah cerminan kekerdilan jiwa.

Kemarin terjadi. Seorang siswa sekolah dinas mati teraniaya oleh seniornya. Dulu juga terjadi di sekolah pencetak pamong praja. Tentu ada pula, dan mungkin lebih banyak, yang tak sampai mati. Sepasang orangtua tiga tahun lalu bercerita kepada saya, putranya masuk rumah sakit karena dianiaya seniornya di sebuah sekolah dinas pencetak pelayan perpindahan orang antarnegeri.

Dulu sekali, bukan di sekolah dinas, tapi di sebuah perguruan tinggi swasta Jakarta, seorang mahasiswa, The Manto namanya, meninggal setelah dianiaya seniornya di korps kegiatan bela negara saat inisiasi.

Orang-orang gagah bertindak keras untuk melawan. Hanya saja, bagi orang-orang gemagah — seolah gagah, merasa dirinya paling perkasa — apa pun sikap dan perilaku orang lain yang tak sesuai kemauan hati dan selera pribadi berarti pembangkangan, berarti perlawanan, sehingga harus ditundukkan dengan kekerasan.

Mungkin ada yang salah dalam seleksi, baik di pihak penyaring maupun calon peserta didik. Maka jadilah sekolah sebagai sasana besar dengan aturan yang lebih longgar — dan lebih ngawur — daripada sasana tinju maupun padepokan kanuragan.

akar kekerasan erich fromm dalam kaos oblongDi tempat orang-orang berguru kemahiran berkelahi, setahu saya, jarang ada orang mati karena dibunuh oleh teman seperguruan — kecuali dalam cerita silat. Di lembaga pencetak prajurit, yang memang dibiasakan dengan kekerasan dan kekasaran, sejauh saya dengar jarang (atau tak ada) yunior dianiaya sampai cacat bahkan meninggal. Kalau pun ada, kita tak layak menenggang dengan alasan “namanya juga lingkungan keras”.

Maafkan saya, catatan ini tak menjawab judul klise di atas karena saya memang tak dapat. Bukankah ada ahli yang lebih waskita dalam soal ini? Bacalah ini.

Tinggalkan Balasan