POTRET KETEGARAN DAN KEKOMPAKAN KELUARGA.
Saat anaknya sakau, bekas bintang bola Ronny Pattinasarany (kini 58) harus mengantarkan anaknya ke bandar putau. Yerry, anaknya, kenal drugs sejak SD! Di kemudian hari Benny, kakaknya, pun tertular. Ketika orangtuanya pergi, Benny bikin garage sale di rumah: semua barang boleh diambil dan dihargai semaunya. Yerry malah sempat jadi bandar saat SMA.
Cerita usang? Mungkin. Begitu banyak yang kita baca, dengar, dan lihat tentang nestapa keluarga yang anak-anaknya jadi budak narkoba. Ketika semuanya begitu berjarak, kita cuma bisa bilang, “Amit-amit deh!”
Tapi ketika jarak makin dekat, kita ikut tersentuh. Suatu hari saya ditelepon sahabat lama sejak SMA, “Tolong, Tyo. Si anu, keponakanku yang blablabla itu, lagi OD. Sekarang di ICU. HIV infected akibat jarum suntik.”
Anak yang masa kecilnya lucu itu, berada di antara hidup dan mati. Keluarganya hampir menyerah. Hal kecil, sejauh yang bisa saya lakukan, adalah menghubungkannya dengan seorang konselor yang tak saya kenal pribadi. Konselor itu anak gaul top Bandung 70-80-an. Dia bekas pecandu narkoba sejak SMP sampai dewasa, sehingga tamatlah kariernya di bank, dan keluarga yang dia bangun pun berantakan.
Anak kecil lucu. Dukungan keluarga dan keteguhan. Itu yang muncul dalam buku ini.
Melihat foto masa bocah anak-anak Ronny, yakni Robenno Patrick Pattinasarany (Benny, sekarang 28) dan Handry Jaques Pattinasarany (Yerry, kini 27), seakan kita tak percaya mereka jadi hamba candu. Benny sempat nyambi sebagai pemusik kafe saat kuliah. Yerry sempat jadi petenis yunior seangkatan Wynne Prakusha.
Kita hampir tak percaya bahwa dengan penghasilan “lebih dari cukup” (istilah Ronny sendiri), sang kepala keluarga harus mengutang sana-sani untuk makan karena harta terkuras oleh narkoba.
Jika kita ibaratkan rubrik “Injury Time” di Koran Tempo, maka kisah Ronny ini lebih kaya, karena bukan semata soal masa lalu dan hari terkini seorang bekas libero terbaik. Ini soal bagaimana dia menaklukkan lapangan kecil tapi superberat bernama masalah keluarga dengan dukungan para sahabat.
Yah, ini soal bagaimana seorang Ronny akhirnya harus mengalahkan egonya sendiri, mencoba terus becermin, tapi saat yang sama harus membesarkan hati Stella Maria, istrinya, dan mengatasi konflik di antara mereka sendiri.
Bukan soal gampang. Tak semua pasangan sanggup melakukannya. Apalagi Tresita Diana Maria Pattinasarany (Cita, kini 25), putri mereka, sampai berniat bunuh diri karena mendapatkan tugas berat untuk ikut mengawasi kedua abangnya.
Artinya Cita remaja harus menjalani hari-hari menegangkan, menakutkan, melelahkan, penuh amuk, dan memalukan. Uang iuran sekolahnya pun dicuri kakaknya untuk beli putau.
Pada akhirnya — setelah on-off berupa sembuh dan kumat, atau tobat dan kambuh — adalah happy ending. Dengan pendekatan spiritual anak-anak itu terbebas dari narkoba dan kemudian menjalani hidup untuk melayani sesama, termasuk korban narkoba (pecandu dan keluarganya).
Ronny mencoba berbagi dengan rendah hati, tanpa malu membuka kekurangan diri. Hambatan terbesar dalam penulisan buku ini, menurutnya, justru saat akan memulai. Keluarga besarnya sempat keberatan karena tak ingin aib dipublikasikan.
Itu suatu hal yang saya maklumi. Siapa sih yang mau membuka belang, meskipun mereka juga dirugikan? Itulah keluarga besar, yang menurut Ronny, juga menjadi korban. Setiap kali bertandang mereka akan mengamankan tas dan dompet masing-masing karena kedua anak Ronny sudah jadi maling.
Peristiwa lucu, tapi menyentuh, juga ada. Setelah anaknya sembuh, Ronny masih was-was. Ketika seorang sopir taksi datang mencari anaknya, dia pun langsung panik, menerka masalah baru apa lagi yang akan muncul.
Ternyata sopir taksi itu mencari “Pendeta Yerry” untuk konsultasi suatu masalah. Ketika mengangkut Yerry, dia mendapatkan pencerahan spiritual. Karena itulah dia mendatangi rumah keluarga Ronny, mencari orang muda yang dia sangka pendeta.
Sayang buku yang pernah dinukil oleh Intisari ini punya kekurangan yang mengurangi kenyamanan baca. Pembaca dipersilakan bermain matematika karena tak semua peristiwa penting disertai keterangan waktu (bulan dan tahun), maupun latarnya (usia dalam suatu kasus dan pencapaian penting).
Meskipun begitu buku ini tetap menyentuh dan inspiring. Tak hanya bagi keluarga yang berurusan dengan narkoba, tapi semua orang yang ingin belajar ketegaran dalam menghadapi masalah.
Catatan akhir Yerry tentang narkoba, yang menyerupai bahan presentasi, juga bermanfaat.